Hari pertama.
Notifikasi
di layar gawai membuatku tergerak untuk menilik siapa gerangan yang
menghubungi. Oh, ternyata satu permintaan pertemanan di aplikasi pesan instan.
Aku tidak tertarik untuk mengiyakan ajakan pertemanan itu. Namun jemariku
tertarik untuk mengulur daftar permintaan pertemanan yang entah sejak kapan ku
abaikan sehingga menumpuk beberapa permintaan. Tarian jemariku terhenti pada
foto profil salah satu pria yang entah mengapa menarik hatiku. Biasa saja
memang, namun nyatanya aku langsung mengiyakan permintaan pertemanannya yang
terselip di antara lainnya.
“Hai,
Adriana.”
Tidak
sampai sepuluh menit kemudian, satu notifikasi baru muncul lagi di gawai. Dit.
Nama yang terpampang di layar gawai jelas-jelas menunjukkan nama seseorang yang
baru saja ku terima permintaan pertemanannya di aplikasi pesan instan. Sedikit
bingung aku membalas pesannya sebab ku pikir ada gunanya juga untuk aku sedikit
menahan diri. Hei, ini media sosial bukan? Apa saja mungkin terjadi di dunia
maya ini.
“Iyaaa.”
Sejauh
ini ku anggap jawaban itu cukup diartikan sebagai sambutan yang tidak
berlebihan namun tetap terkesan terbuka.
“Salam
kenal ya.”
Permulaan
yang bagus. Mari kita lihat selanjutnya akan seperti apa setelah ku sambut
salam perkenalannya. Kemudian ia menanyakan hal remeh temeh seputar diriku yang
wajar pada fase perkenalan. Percakapan kami terasa menyenangkan dengan saling
berbalas pesan yang atraktif.
“Lagi
sibuk nggak? Telepon aja, yuk.”
Deg.
Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku berbicara dengan laki-laki
secara khusus kecuali ayah dan adikku. Agak lama hanya ku pandangi pesan yang
ia kirim. Bingung juga, mau bicara apa ya nanti? Bagaimana kalau aku mati kata
dan tidak asyik diajak bicara? Bagaimana kalau suaraku tidak enak didengar?
Baiknya aku minum dulu untuk menyegarkan tenggorokan sebelum ku iyakan
ajakannya berbicara via jalinan suara.
Tak
butuh lama buatnya langsung menelponku setelah ku izinkan. Sedikit berdebar ku
jawab panggilan darinya setelah tentunya memastikan suaraku cukup enak didengar.
Suara di ujung sana terdengar ceria, seolah mengalirkan semangat kepadaku.
Padahal waktu itu sudah hampir lewat tengah malam. Rupanya ia memang laki-laki
yang gemar bercerita dan pandai membuat suasana terasa menyenangkan. Ia pun tak
canggung menceritakan apa saja tentang dirinya pada percakapan kami di hari
pertama perkenalan ini. Tentang keluarganya, masa lalunya, apa yang ia suka dan
ia benci, dan hal-hal lain yang rasanya tak akan mampu ku ingat satu persatu.
“Ke
burjo yuk. Mendadak haus terus lapar nih.” Jarak kostnya dan kostku yang
ternyata tak cukup jauh ternyata menggodanya untuk langsung bertemu denganku.
“Sudah
larut. Kamu sendiri aja, ya?”
“Hmm
ya sudah. Setelah kita selesai bicara baru aku pergi makan.”
“Kalau
begitu sudahi sekarang saja.”
“Jangan.
Aku masih ingin berbincang denganmu.” Kalimat yang baru saja dituntaskannya itu
biasa saja namun membuat hatiku berdesir entah karena apa.
Sampai
dua jam berlalu dan kami sama-sama mengantuk kemudian percakapan itu terpaksa
kami sudahi.
“Ini
adalah salah satu usahaku untuk mengenalmu. Makanya sedari tadi aku bertanya
tentangmu dan aku pun bercerita banyak hal tentang diriku.”
“Mengapa?”
“Sebab
setelah sama-sama kenal dan saling nyaman, kisah tingkat selanjutnya tentu akan
mudah kita jalani.”
Sudah
terlalu larut. Dan aku yakin terlelap dengan senyum mengembang sampai pagi.
Hari kedua.
Selanjutnya
memang terasa lebih mudah, seperti yang ia katakan sebelumnya. Percakapan kami
terjalin semakin lekat. Dan ia pun tak ragu untuk memberikan perhatian demi perhatian
yang selalu berhasil membuatku berdebar-debar. Bahkan kepada laki-laki yang
dekat denganku terakhir kali, aku tak merasakan debar yang sedemikian rupanya.
Tetap saja aku memegang prinsip sejak awal perkenalan kami. Ini dunia maya, apa
saja bisa terjadi dengan mudahnya. Kami baru saja saling mengenal dan bahkan
tak pernah bertatap muka. Terlalu dini jika ku katakan aku jatuh cinta. Namun
getaran ini sungguh semakin menggelora.
“Kabari
aku, neng. Jangan buat aku menunggu dan khawatir denganmu.”
Kalimat
itu agak berlebihan jika diucapkan oleh seseorang yang berstatus hanya teman,
bukan? Padahal aku hanya bilang hendak pergi sebentar bersama kawan.
“Kamu
kemana aja sih? Aku cariin kamu dari tadi nggak ada kabarnya.”
Ini
tentu sedikit berlebihan, namun dibuat merasa dibutuhkan seperti itu aku jadi
makin tersipu. Entah sudah berapa lama aku tidak merasa sedemikian dicari,
ditunggu, dan dibutuhkan oleh seorang laki-laki.
Fase
perkenalan kami berjalan dengan lancarnya namun aku tetap waspada. Hati-hati
aku menjaga hatiku agar tak langsung jatuh padanya. Bisa bahaya sendiri jadinya
kalau aku jatuh cinta sementara kisah kami entah bagaimana nantinya. Namun
malam ini ia kembali berhasil membuatku menutup hari dengan perasaan bahagia.
Hari ketiga.
Sebuah
potret swafoto ia kirimkan kepadaku dan bukan untuk pertama kali. Parasnya yang
memang rupawan membuatku kembali berdebar. Kau mungkin saja ingin katakan bahwa
jatuh cinta tak hanya sekadar pada rupa. Iya, memang. Toh aku tidak semata
menyukainya sebab ia rupawan. Sudah pernah ku jelaskan perihal caranya
membuatku merasa dibutuhkan dan diperhatikan sedemikian rupa mau tak mau
menggetarkan hatiku.
Melihatnya
dan sejuta perhatian darinya membuatku tersenyum sendiri sepanjang hari. Ya
ampun, rasanya aku seperti remaja yang baru saja jatuh hati.
“Ada
beberapa orang yang memanggilku ‘yang’, sebab nama kecilku memang ‘yayang’.
Jadi kau bukan satu-satunya yang memanggilku demikian.” Waktu itu ia
memanggilku ‘yang’ setelah tahu aku punya nama kecil demikian.
“Ya
sudah, ‘yangbeb’. Biar beda dengan yang lainnya. Tapi tenang saja, aku akan
profesional kok.”
“Maksudnya?”
“Iya,
aku berusaha untuk tidak emosi jika mendengar langsung ada lelaki lain yang
memanggilmu demikian. Habisnya panggilan ‘yang’ kan dekat dengan konotasi ‘sayang’.”
Aku
semakin tersipu. Perasaan macam apa ini?
“Ya
sudah terserah kamu saja. Aku akan jaga hati biar tidak terbawa perasaan
padamu.” Secara tak langsung ku ungkapkan saja apa yang ku khawatirkan tentang
kedekatan kami.
“Kalau
kamu jaga hati agar tak terbawa perasaan, lalu kapan kita akan jadian? Aku saja
tidak mengapa terbawa perasaan.”
Aku
tak percaya akan mendengar pernyataan yang demikian dari dirinya. Entah reaksi
seperti apa yang akan aku lontarkan kepadanya.
“Memangnya
mengapa? Coba jelaskan mengapa aku tak boleh memakai perasaan padamu?” Ia tetap
gigih saat ku ucapkan alasan demi alasan.
“Bagaimana
hubungan kita akan berkembang jika begitu-begitu saja? Sudahlah, intinya ayo
kita jalani dan lanjutkan cerita ini.” Sudah. Cukup membuatku bungkam. Aku
semakin merasa ada di awang-awang.
Hari keempat.
“Aku
mau pergi dengan adikku.” Seperti sudah menjadi sebuah keharusan untukku
berpamitan dengannya.
“Baiklah.
Hati-hati di jalan, jangan ngebut, kabari kalau sudah sampai.” Dan seperti
biasa pula ia akan memberiku petuah demi petuah.
Demikian,
maka aku pergi dengan gembira sebab ada yang menantiku pulang. Pun saat aku
tiba di tujuan, ku kabari ia seperti yang ia minta. Tetapi tidak ada balasan.
Ah, mungkin ia sedang sibuk. Semalam ia sempat bilang bahwa temannya akan
menikah lusa dan ia didaulat untuk menjadi bestman. Bisa jadi ia sedang fitting seragam atau mempersiapkan hal
lainnya.
Satu
jam, dua jam, hingga lima jam. Tak pernah ia selama ini dalam tidak membalas
pesan. Namun tentu saja aku bukan perempuan posesif yang menuntut dikabari
berkali-kali tanpa jeda. Hingga akhirnya aku kembali di rumah dan malam
menjelang, tak ku temui juga pesannya menghampiri. Hingga saat aku hendak
menyerah dan tidur, nama yang ku nanti sejak pagi muncul.
“Hai,
maaf ya aku baru saja mengantar ayah. Seharian terjebak macet di perjalanan dan
kuotaku habis. Ini baru saja sampai rumah dan beli kuota.”
Lega
sekali aku mendapati kabar yang aku nanti sepanjang hari. Dan oleh sebab aku
sudah sangat mengantuk, aku pamit untuk lebih dulu memejam. Toh esok aku ada
acara keluarga dan dia harus menjadi bestman
di pernikahan temannya.
Hari kelima.
“Morning. Hari ini kamu mulai jadi bestman jam berapa?” Sebuah pesan di
awal pagi tentu menjadi hal yang lumrah bagi orang yang sedang dalam fase
pendekatan, bukan?
Namun
tidak aku sangka rupanya itu menjadi pesan yang terakhir terpampang di deretan
percakapan kami via gawai. Ia tak pernah lagi membalas pesanku, bahkan dibaca
saja tidak. Semula ku pikir ia terlalu sibuk dengan acaranya dan pasti akan
membalas pesanku di kala ia senggang. Atau mungkin saat acaranya sudah usai dan
ia benar-benar sudah santai di rumah. Lagi-lagi ku jelaskan bahwa aku bukan
tipe perempuan posesif. Jadi tak masalah ia lama membalas asal nanti ia tetap
memberi kabar seperti sebelumnya.
Aku
sengaja berkali-kali mengambil swafoto dengan gaya terbaik untuk ku persiapkan
nanti ku kirim padanya. Kebetulan aku sedang merasa cantik sekali hari ini
dengan riasan hasil tanganku sendiri di acara khusus hari ini. Dan seperti
sudah kebiasaan bagi kami berdua untuk saling bertukar potret setiap hari.
Malam
menjelang, kabar darinya tak juga datang. Hingga larut dan tak kunjung ia
menjemput. Sebenarnya hatiku risau, namun aku berusaha tetap tenang. Toh ia
bukannya menghilang sekian lama. Malam ini untuk pertama kalinya semenjak
perkenalan kami, aku tidur dengan hati yang tak menentu sebab menunggu.
Hari keenam.
Kalau
ada yang paling ingin ku temui di pagi saat ku mulai menjalani hari, sudah
tentu adalah kabar darinya yang selalu mampu membuatku bersemangat. Belum
apa-apa sudah ku buka gawai dan menilik daftar pesan masuk. Tak ada satu pun
darinya. Percakapan yang terlihat dalam ruang obrolan kami masih sama seperti
terakhir kali. Ia kemana? Apakah kuotanya habis lagi? Sudah tentu tidak
mungkin. Kan kemarin baru saja ia
beli. Memangnya ia seboros apa? Atau gawainya rusak? Ah, masa iya?
Padahal
sejak kemarin aku menunggu kabarnya yang mencerahkan hariku. Dan aku sudah
tidak sabar melihatnya dalam balutan busana pendamping pernikahan. Sudah tentu
ia akan semakin terlihat menggemaskan. Namun rupanya aku masih harus menunggu
lagi, mungkin.
Dan
kau tentu setuju denganku bahwa menunggu adalah pekerjaan yang paling
membosankan, merisaukan, dan melelahkan. Menunggu adalah pekerjaan bagi
orang-orang yang sabar saja. Berusaha tidak berpikir jelek, namun mau tak mau
anggapan-anggapan buruk tentangnya hilir mudik hinggap di otakku. Ia sedang di
mana? Ia sedang bersama siapa? Ia sedang melakukan apa? Ia sedang
menyembunyikan apa dariku? Ia sedang melakukan permainan apa denganku? Dan
sebagainya, dan sebagainya. Dan hari itu ku tutup dengan kembali risau perihal
ia serta satu rasa lagi bertumbuh di hati; rindu.
Hari ketujuh.
Apakah
aku harus melupakannya dan berpura-pura bahwa ia tak pernah ada? Pun
berpura-pura bahwa kisah antara aku dengan dia tak pernah terjadi. Toh kami tak
pernah bersua secara langsung dan boleh jadi di antara kami memang hanya cerita
di dunia maya. Bukankah sejak awal perkenalan pun aku sudah berprinsip pada
diri sendiri? Ini adalah dunia maya dan apa saja mungkin terjadi, tanpa perlu
ada alasan yang mengiringi.
Tapi
ini terlalu singkat, bukan? Baru saja ku jatuhkan hati namun ia seolah pergi.
Benarkah ia pergi? Atau memang hanya ada sesuatu yang terjadi?
Lantas
aku harus bagaimana?
Haruskah
aku bertahan dalam menunggu atau benar-benar melupakan dirinya. Entah sudah
berapa kali ku lihat ruang obrolan kami yang masih meninggalkan pesan terakhir
sama. Entah sudah berapa kali ku tilik apakah pesan dariku sudah terbaca
olehnya atau belum. Entah berapa kali ku baca ulang percakapan antara kami yang
ternyata mampu menghangatkan hatiku kembali. Dan entah berapa kali ku pandangi
potretnya untuk sekadar mengurangi rasa rindu yang semakin mengakar di hati.
Entahlah
akan jadi seperti apa kisah ini. Diam-diam pikiran nakalku berpikir, apakah
jangan-jangan yang tempo hari menikah adalah ia sendiri?
Selamat
tahun baru, Abang.
Aku
rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar