saya bukan blogger. saya hanya ingin bercerita :)

Jumat, 05 Januari 2018

Sepekan Setelah Perkenalan

Hari pertama.
Notifikasi di layar gawai membuatku tergerak untuk menilik siapa gerangan yang menghubungi. Oh, ternyata satu permintaan pertemanan di aplikasi pesan instan. Aku tidak tertarik untuk mengiyakan ajakan pertemanan itu. Namun jemariku tertarik untuk mengulur daftar permintaan pertemanan yang entah sejak kapan ku abaikan sehingga menumpuk beberapa permintaan. Tarian jemariku terhenti pada foto profil salah satu pria yang entah mengapa menarik hatiku. Biasa saja memang, namun nyatanya aku langsung mengiyakan permintaan pertemanannya yang terselip di antara lainnya.
“Hai, Adriana.”
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, satu notifikasi baru muncul lagi di gawai. Dit. Nama yang terpampang di layar gawai jelas-jelas menunjukkan nama seseorang yang baru saja ku terima permintaan pertemanannya di aplikasi pesan instan. Sedikit bingung aku membalas pesannya sebab ku pikir ada gunanya juga untuk aku sedikit menahan diri. Hei, ini media sosial bukan? Apa saja mungkin terjadi di dunia maya ini.
“Iyaaa.”
Sejauh ini ku anggap jawaban itu cukup diartikan sebagai sambutan yang tidak berlebihan namun tetap terkesan terbuka.
“Salam kenal ya.”
Permulaan yang bagus. Mari kita lihat selanjutnya akan seperti apa setelah ku sambut salam perkenalannya. Kemudian ia menanyakan hal remeh temeh seputar diriku yang wajar pada fase perkenalan. Percakapan kami terasa menyenangkan dengan saling berbalas pesan yang atraktif.
“Lagi sibuk nggak? Telepon aja, yuk.”
Deg. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku berbicara dengan laki-laki secara khusus kecuali ayah dan adikku. Agak lama hanya ku pandangi pesan yang ia kirim. Bingung juga, mau bicara apa ya nanti? Bagaimana kalau aku mati kata dan tidak asyik diajak bicara? Bagaimana kalau suaraku tidak enak didengar? Baiknya aku minum dulu untuk menyegarkan tenggorokan sebelum ku iyakan ajakannya berbicara via jalinan suara.
Tak butuh lama buatnya langsung menelponku setelah ku izinkan. Sedikit berdebar ku jawab panggilan darinya setelah tentunya memastikan suaraku cukup enak didengar. Suara di ujung sana terdengar ceria, seolah mengalirkan semangat kepadaku. Padahal waktu itu sudah hampir lewat tengah malam. Rupanya ia memang laki-laki yang gemar bercerita dan pandai membuat suasana terasa menyenangkan. Ia pun tak canggung menceritakan apa saja tentang dirinya pada percakapan kami di hari pertama perkenalan ini. Tentang keluarganya, masa lalunya, apa yang ia suka dan ia benci, dan hal-hal lain yang rasanya tak akan mampu ku ingat satu persatu.
“Ke burjo yuk. Mendadak haus terus lapar nih.” Jarak kostnya dan kostku yang ternyata tak cukup jauh ternyata menggodanya untuk langsung bertemu denganku.
“Sudah larut. Kamu sendiri aja, ya?”
“Hmm ya sudah. Setelah kita selesai bicara baru aku pergi makan.”
“Kalau begitu sudahi sekarang saja.”
“Jangan. Aku masih ingin berbincang denganmu.” Kalimat yang baru saja dituntaskannya itu biasa saja namun membuat hatiku berdesir entah karena apa.
Sampai dua jam berlalu dan kami sama-sama mengantuk kemudian percakapan itu terpaksa kami sudahi.
“Ini adalah salah satu usahaku untuk mengenalmu. Makanya sedari tadi aku bertanya tentangmu dan aku pun bercerita banyak hal tentang diriku.”
“Mengapa?”
“Sebab setelah sama-sama kenal dan saling nyaman, kisah tingkat selanjutnya tentu akan mudah kita jalani.”
Sudah terlalu larut. Dan aku yakin terlelap dengan senyum mengembang sampai pagi.
Hari kedua.
Selanjutnya memang terasa lebih mudah, seperti yang ia katakan sebelumnya. Percakapan kami terjalin semakin lekat. Dan ia pun tak ragu untuk memberikan perhatian demi perhatian yang selalu berhasil membuatku berdebar-debar. Bahkan kepada laki-laki yang dekat denganku terakhir kali, aku tak merasakan debar yang sedemikian rupanya. Tetap saja aku memegang prinsip sejak awal perkenalan kami. Ini dunia maya, apa saja bisa terjadi dengan mudahnya. Kami baru saja saling mengenal dan bahkan tak pernah bertatap muka. Terlalu dini jika ku katakan aku jatuh cinta. Namun getaran ini sungguh semakin menggelora.
“Kabari aku, neng. Jangan buat aku menunggu dan khawatir denganmu.”
Kalimat itu agak berlebihan jika diucapkan oleh seseorang yang berstatus hanya teman, bukan? Padahal aku hanya bilang hendak pergi sebentar bersama kawan.
“Kamu kemana aja sih? Aku cariin kamu dari tadi nggak ada kabarnya.”
Ini tentu sedikit berlebihan, namun dibuat merasa dibutuhkan seperti itu aku jadi makin tersipu. Entah sudah berapa lama aku tidak merasa sedemikian dicari, ditunggu, dan dibutuhkan oleh seorang laki-laki.
Fase perkenalan kami berjalan dengan lancarnya namun aku tetap waspada. Hati-hati aku menjaga hatiku agar tak langsung jatuh padanya. Bisa bahaya sendiri jadinya kalau aku jatuh cinta sementara kisah kami entah bagaimana nantinya. Namun malam ini ia kembali berhasil membuatku menutup hari dengan perasaan bahagia.
Hari ketiga.
Sebuah potret swafoto ia kirimkan kepadaku dan bukan untuk pertama kali. Parasnya yang memang rupawan membuatku kembali berdebar. Kau mungkin saja ingin katakan bahwa jatuh cinta tak hanya sekadar pada rupa. Iya, memang. Toh aku tidak semata menyukainya sebab ia rupawan. Sudah pernah ku jelaskan perihal caranya membuatku merasa dibutuhkan dan diperhatikan sedemikian rupa mau tak mau menggetarkan hatiku.
Melihatnya dan sejuta perhatian darinya membuatku tersenyum sendiri sepanjang hari. Ya ampun, rasanya aku seperti remaja yang baru saja jatuh hati.
“Ada beberapa orang yang memanggilku ‘yang’, sebab nama kecilku memang ‘yayang’. Jadi kau bukan satu-satunya yang memanggilku demikian.” Waktu itu ia memanggilku ‘yang’ setelah tahu aku punya nama kecil demikian.
“Ya sudah, ‘yangbeb’. Biar beda dengan yang lainnya. Tapi tenang saja, aku akan profesional kok.”
“Maksudnya?”
“Iya, aku berusaha untuk tidak emosi jika mendengar langsung ada lelaki lain yang memanggilmu demikian. Habisnya panggilan ‘yang’ kan dekat dengan konotasi ‘sayang’.”
Aku semakin tersipu. Perasaan macam apa ini?
“Ya sudah terserah kamu saja. Aku akan jaga hati biar tidak terbawa perasaan padamu.” Secara tak langsung ku ungkapkan saja apa yang ku khawatirkan tentang kedekatan kami.
“Kalau kamu jaga hati agar tak terbawa perasaan, lalu kapan kita akan jadian? Aku saja tidak mengapa terbawa perasaan.”
Aku tak percaya akan mendengar pernyataan yang demikian dari dirinya. Entah reaksi seperti apa yang akan aku lontarkan kepadanya.
“Memangnya mengapa? Coba jelaskan mengapa aku tak boleh memakai perasaan padamu?” Ia tetap gigih saat ku ucapkan alasan demi alasan.
“Bagaimana hubungan kita akan berkembang jika begitu-begitu saja? Sudahlah, intinya ayo kita jalani dan lanjutkan cerita ini.” Sudah. Cukup membuatku bungkam. Aku semakin merasa ada di awang-awang.
Hari keempat.
“Aku mau pergi dengan adikku.” Seperti sudah menjadi sebuah keharusan untukku berpamitan dengannya.
“Baiklah. Hati-hati di jalan, jangan ngebut, kabari kalau sudah sampai.” Dan seperti biasa pula ia akan memberiku petuah demi petuah.
Demikian, maka aku pergi dengan gembira sebab ada yang menantiku pulang. Pun saat aku tiba di tujuan, ku kabari ia seperti yang ia minta. Tetapi tidak ada balasan. Ah, mungkin ia sedang sibuk. Semalam ia sempat bilang bahwa temannya akan menikah lusa dan ia didaulat untuk menjadi  bestman. Bisa jadi ia sedang fitting seragam atau mempersiapkan hal lainnya.
Satu jam, dua jam, hingga lima jam. Tak pernah ia selama ini dalam tidak membalas pesan. Namun tentu saja aku bukan perempuan posesif yang menuntut dikabari berkali-kali tanpa jeda. Hingga akhirnya aku kembali di rumah dan malam menjelang, tak ku temui juga pesannya menghampiri. Hingga saat aku hendak menyerah dan tidur, nama yang ku nanti sejak pagi muncul.
“Hai, maaf ya aku baru saja mengantar ayah. Seharian terjebak macet di perjalanan dan kuotaku habis. Ini baru saja sampai rumah dan beli kuota.”
Lega sekali aku mendapati kabar yang aku nanti sepanjang hari. Dan oleh sebab aku sudah sangat mengantuk, aku pamit untuk lebih dulu memejam. Toh esok aku ada acara keluarga dan dia harus menjadi bestman di pernikahan temannya.
Hari kelima.
Morning. Hari ini kamu mulai jadi bestman jam berapa?” Sebuah pesan di awal pagi tentu menjadi hal yang lumrah bagi orang yang sedang dalam fase pendekatan, bukan?
Namun tidak aku sangka rupanya itu menjadi pesan yang terakhir terpampang di deretan percakapan kami via gawai. Ia tak pernah lagi membalas pesanku, bahkan dibaca saja tidak. Semula ku pikir ia terlalu sibuk dengan acaranya dan pasti akan membalas pesanku di kala ia senggang. Atau mungkin saat acaranya sudah usai dan ia benar-benar sudah santai di rumah. Lagi-lagi ku jelaskan bahwa aku bukan tipe perempuan posesif. Jadi tak masalah ia lama membalas asal nanti ia tetap memberi kabar seperti sebelumnya.
Aku sengaja berkali-kali mengambil swafoto dengan gaya terbaik untuk ku persiapkan nanti ku kirim padanya. Kebetulan aku sedang merasa cantik sekali hari ini dengan riasan hasil tanganku sendiri di acara khusus hari ini. Dan seperti sudah kebiasaan bagi kami berdua untuk saling bertukar potret setiap hari.
Malam menjelang, kabar darinya tak juga datang. Hingga larut dan tak kunjung ia menjemput. Sebenarnya hatiku risau, namun aku berusaha tetap tenang. Toh ia bukannya menghilang sekian lama. Malam ini untuk pertama kalinya semenjak perkenalan kami, aku tidur dengan hati yang tak menentu sebab menunggu.
Hari keenam.
Kalau ada yang paling ingin ku temui di pagi saat ku mulai menjalani hari, sudah tentu adalah kabar darinya yang selalu mampu membuatku bersemangat. Belum apa-apa sudah ku buka gawai dan menilik daftar pesan masuk. Tak ada satu pun darinya. Percakapan yang terlihat dalam ruang obrolan kami masih sama seperti terakhir kali. Ia kemana? Apakah kuotanya habis lagi? Sudah tentu tidak mungkin. Kan kemarin baru saja ia beli. Memangnya ia seboros apa? Atau gawainya rusak? Ah, masa iya?
Padahal sejak kemarin aku menunggu kabarnya yang mencerahkan hariku. Dan aku sudah tidak sabar melihatnya dalam balutan busana pendamping pernikahan. Sudah tentu ia akan semakin terlihat menggemaskan. Namun rupanya aku masih harus menunggu lagi, mungkin.
Dan kau tentu setuju denganku bahwa menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan, merisaukan, dan melelahkan. Menunggu adalah pekerjaan bagi orang-orang yang sabar saja. Berusaha tidak berpikir jelek, namun mau tak mau anggapan-anggapan buruk tentangnya hilir mudik hinggap di otakku. Ia sedang di mana? Ia sedang bersama siapa? Ia sedang melakukan apa? Ia sedang menyembunyikan apa dariku? Ia sedang melakukan permainan apa denganku? Dan sebagainya, dan sebagainya. Dan hari itu ku tutup dengan kembali risau perihal ia serta satu rasa lagi bertumbuh di hati; rindu.
Hari ketujuh.
Apakah aku harus melupakannya dan berpura-pura bahwa ia tak pernah ada? Pun berpura-pura bahwa kisah antara aku dengan dia tak pernah terjadi. Toh kami tak pernah bersua secara langsung dan boleh jadi di antara kami memang hanya cerita di dunia maya. Bukankah sejak awal perkenalan pun aku sudah berprinsip pada diri sendiri? Ini adalah dunia maya dan apa saja mungkin terjadi, tanpa perlu ada alasan yang mengiringi.
Tapi ini terlalu singkat, bukan? Baru saja ku jatuhkan hati namun ia seolah pergi. Benarkah ia pergi? Atau memang hanya ada sesuatu yang terjadi?
Lantas aku harus bagaimana?
Haruskah aku bertahan dalam menunggu atau benar-benar melupakan dirinya. Entah sudah berapa kali ku lihat ruang obrolan kami yang masih meninggalkan pesan terakhir sama. Entah sudah berapa kali ku tilik apakah pesan dariku sudah terbaca olehnya atau belum. Entah berapa kali ku baca ulang percakapan antara kami yang ternyata mampu menghangatkan hatiku kembali. Dan entah berapa kali ku pandangi potretnya untuk sekadar mengurangi rasa rindu yang semakin mengakar di hati.
Entahlah akan jadi seperti apa kisah ini. Diam-diam pikiran nakalku berpikir, apakah jangan-jangan yang tempo hari menikah adalah ia sendiri?
Selamat tahun baru, Abang.

Aku rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar