saya bukan blogger. saya hanya ingin bercerita :)

Sabtu, 16 Maret 2019

Aku dan Retorika dengan Diriku Sendiri


Seiring dengan bertambahnya angka pada usia, aku semakin dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang nggak jarang bikin otak pegal. Quarter life crisis? Jujur aku juga nggak begitu paham sih, gimana dan seperti apa tanda kalau krisis itu hadir.

            Ok balik lagi pertanyaan tadi. Pertanyaan-pertanyaan yang hadir itu nggak jarang berubah menjadi kekhawatiran dan kegalauan. Bahkan terhadap hal yang sebenarnya belum pasti. Misalnya:

“Setelah diwisuda nanti, aku bakal jadi apa?”
“Aku bakal kerja di mana dan bagaimana?”
“Berapa penghasilan yang bisa aku hasilkan setiap bulannya nanti?”
“Bisa nggak ya, benar-benar lepas dari sokongan dana orang tua?”
“Bisa nggak ya, hidup murni dari penghasilan sendiri?”

            Itu baru pertanyaan yang benar-benar melibatkan diri sendiri. Belum lagi pertanyaan yang datang dengan melibatkan orang lain seperti:

“Dari penghasilanku nanti, bisa nggak ya aku gantian transfer uang ke orang tua?”
“Apakah aku harus mulai nabung untuk masa depan? Misalnya beli rumah, kendaraan, dan modal menikah.”

            Dan sederet pertanyaan lainnya yang rasanya nggak bakal habis kalau dituliskan satu persatu. Hei, jangan bilang kalau semua itu masih jauh dari batas kenyataan. Terutama soal nabung untuk masa depan.

            Di usia awal 20 seperti aku mungkin memang baiknya fokus memberi nafkah pada diri sendiri dulu, dibanding harus memikirkan masa depan bersama orang lain. Tapi kalau ku pikir kembali, kalau nggak dimulai dari sekarang ya kapan lagi?

            Namanya juga nabung. Semua diawali dari sedikit demi sedikit. Ok, skip dialektika tentang masa depan. Mari kembali berbicara tentang retorika dengan diri sendiri.

            Nah, usiaku awal 20. Baru saja dinyatakan lulus dari universitas dan sedang menanti diwisuda sebagai peresmian kelulusanku (atau status penggangguranku?) Aku memiliki pekerjaan lepas yang sudah hampir satu tahun aku jalani. Dan tentunya pekerjaan itu nggak bisa aku katakan sebagai sumber penghasilan tetap. Maka aku tetap pada prinsip bahwa saat ini aku hanyalah seorang pengangguran yang bergantung pada sokongan dana orang tua.

            Aku yakin sih, orang tuaku bukan tipe yang langsung lepas tangan begitu saja bahkan ketika aku sudah diwisuda nanti. Thank God, lucky me. Tapi sisi tanggung jawabku terusik. 

Belakangan ini (bahkan sebelum dinyatakan lulus) aku sudah mulai malu saat menerima transferan uang dari orang tua. Malu, karena terus-terusan jadi beban orang tua meski tentu orang tua nggak pernah menganggap anaknya sebagai beban.

Aku sempat ada di titik di mana aku bingung harus menjalani hidup dengan cara yang bagaimana. Aku hanya ingin bertahan hidup atas usahaku sendiri. Tapi ternyata aku belum sanggup. Akhirnya kembali lagi, aku dirundung kekhawatiran atas hidupku sendiri.

Tapi aku nggak mau terpuruk. Otakku yang pegal memikirkan kekhawatiran ini harus berubah memikirkan bagaimana caranya untuk survive.

Kembali aku teringat pada masa-masa peralihan idealis ke realistisku. Saat itu aku menemukan satu konsep baru bahwa: you must know your priorities.

Yap, kita tentu punya skala prioritas dalam hidup kita. Dalam hal apapun. Maka aku akan berusaha untuk menerapkan konsep itu kembali dalam hidupku. Konsep itu aku padankan dengan materi ekonomi sejak SMP: kebutuhan primer, sekunder, tersier.

Misalnya, kalau dulu aku nggak pernah mikir dua kali untuk sekadar nongkrong di kafe dalam intensitas sering, sekarang aku berusaha mengurangi intensitasnya. Atau bahkan menghentikannya sama sekali, kecuali jika benar-benar perlu.

Yap, aku memang hobi nongkrong sejak dulu. Bahkan untuk hal kecil semacam nulis skripsi, menyelesaikan pekerjaan, atau ngobrol bersama teman. Untuk saat ini, lebih baik menyelesaikan pekerjaan di kamar kosan dan ngobrol dengan teman di tempat lain yang nggak kalah nyaman. Setidaknya sampai nanti aku benar-benar bisa menghidupi diriku sendiri.

Kemudian membeli benda-benda penting yang nggak penting. Entah ini naluri atau apa, tapi aku termasuk salah seorang yang sering membeli barang yang nggak penting-penting amat, tapi aku beli karena aku merasa bakal berguna.

Kembali lagi ke konsep primer, sekunder, tersier. Saat ini pun aku sedang berusaha untuk selalu menelaah skala itu sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Wish me luck. Haha!

Oya, juga dalam mengeluarkan uang. Biasanya aku ringan mengeluarkan uang untuk hal-hal sepele dengan dalih, “Ah, cuma segini kok harganya. Aku masih punya pegangan lebih banyak.”

Demi apa pun aku baru sadar kalau “harga yang cuma segini” itu kalau terus menerus dikeluarkan juga akan berubah menjadi nominal yang nggak sedikit.

Pada intinya aku sedang menantang diriku sendiri untuk hidup berdikari. Meski orang tuaku nggak akan lepas tangan, tapi kelihatannya aku sudah mulai tahu diri.

Oya, bagiku konsep skala prioritas dan primer, sekunder, tersier itu juga nggak boleh menyakiti diriku sendiri. Dengan kata lain, boleh hemat asal jangan pelit dengan diri sendiri. Aku nggak akan mau menyiksa diriku sendiri. I love myself!

Aku yakin sih, aku nggak sendirian dalam merasakan hal ini. Dan aku perlu berterima kasih pada diriku sendiri. Kenapa? Karena aku nggak mudah ingin dengan pencapaian orang lain. Sisi masa bodohku ternyata berguna untuk hal ini.

Misalnya, ketika banyak orang yang ingin tutup aku di instagram karena merasa bahwa instagram penuh dengan binar-binar duniawi. Mereka nggak ingin sakit hati lihat gaya hidup orang yang serba ada.

Aku? Bodo amat. I’m happy with my own life. Selagi aku bisa makan kenyang dan tidur pulas, serta tertawa karena hal sepele,  then I’m happy! Persetan dengan gaya hidup orang lain. Kalau dituruti, kemauan manusia mah nggak akan ada habisnya. Gaya hidup akan terus berubah dan bertambah kan?

Nah, aku jadi teringat dengan adagium ini: Hidup itu mudah dan murah, gaya hidupnya saja yang susah dan mahal.

Ok, cukup sudah aku bercerita. Ini bukan seutas sambatan. Aku hanya ingin bercerita dan berbagi. Doakan aku agar istiqomah di jalan ninjaku untuk berdikari ya! Doakan juga agar aku lekas dapat pekerjaan tetap yang bisa bikin aku hidup bahagia untuk diri sendiri dan orang lain.

            See ya!

Sabtu, 22 Desember 2018

Gigi Bungsu dan Operasi Pertamaku


Waktu itu selepas bimbingan skripsi, aku pulang dengan pikiran cengo. Yah namanya juga habis bimbingan, micin-micin yang memengaruhi kerja otak mulai bereaksi secara aktif. Di tengah kecengoanku, kok baru sadar kalau gusi bagian pojok kiri belakang tuh nyeri-nyeri sedap gitu. Seumur-umur yang namanya sakit gigi cuma pernah aku rasain sepanjang pakai behel. Kalau kelen pernah atau sedang pakai behel, pasti paham kan kekmana rasanya saat kawat itu diketatkan supaya gigi  menjadi rata nan aduhai?
Ok, kenapa pulak lah ini gusi nyeri? Perasaan aku nggak sering makan ciki atau gulali dan alhamdulillah rajin gosok gigi. Untungnya aku bisa berpikir di tengah kecengoanku.
“Aha! Jangan-jangan ini gigi bungsu!” Begitulah pikirku. Tapi kekmana ya caranya memastikan kalau ini benar-benar si bungsu? Kalau dipikir-pikir, memang sudah waktunya gigi bungsuku tumbuh sih. Secara umurku saat itu sudah 21 menjelang 22. Sudah hampir matang pohon. Oleh karena aku pintar, aku mengira-ngira ada nggak tanda-tanda gigi yang mau tumbuh di gusi itu memakai lidah dan telunjuk. Ehehehe jorok maapin. Tapi waktu itu aku nggak habis ngupil atau garuk kaki kok.
Benar dan nyata adanya, sahabat baikku. Nyeri di gusi itu disebabkan oleh gigi bungsu yang berusaha menyeruak keluar. Waktu itu aku lalu beli jus mangga super dingin. Nah pas minum, aku sengaja aja diemin lama di bagian gigi bungsu itu. Hamdalah, nyerinya hilang. Sungguh aku bangga pada diriku sendiri.
Nggak berhenti sampai di situ, kira-kira dua minggu setelahnya giliran gusi bagian kanan. Kali itu lebih sakit dan kadang sampai bikin migrain. Nyerinya itu benar-benar nyalur sampai belakang telinga dan kepala. Sejauh yang aku tahu, gigi itu memang nyambung ke syaraf-syaraf itu kepala kan ya? Rasa sakit gegara gigi bungsu itu aku rasain sampai kira-kira sebulanan. Tapi hilang dan timbul macam perasaan. Sampai akhirnya aku nggak tahan dan periksa ke dokter gigi. Oya, oleh karena aku rajin dan gabut, sebelumnya aku udah browsing-browsing tuh kekmana sih gigi bungsu, kekmana pengaruhnya, kekmana tindakannya. Dan ternyata kebanyakan berujung pada operasi. Wadidaw, perkara gigi aja bisa operasi?
Ok, aku periksa ke Klinik Nadira yang paling dekat dengan kontrakan waktu itu. Oleh dokternya yang amat mirip dengan ketua jurusanku di kampus (sumpah aku sempat mikir, ini ketua jurusanku apakah double job menjadi dokter gigi?) gigiku diperiksa dan dia bilang itu memang gigi bungsu yang mau keluar tapi tak berdaya. Biar lebih jelas, dia sarankan aku untuk rontgen. Biaya periksa dokter waktu itu kalau nggak salah seratus ribuan, plus biaya daftar pasien. Aku juga dikasih resep obat buat antibiotik dan pereda nyeri yang harus ditebus di apotek.
Dokter menyarankan agar aku rontgen di RS Hermina karena jaraknya paling dekat dan tepercaya. Oleh karena aku sok ngide, besoknya aku malah ke Prodia tuh. Alasannya karena lebih simpel aja aku mikirnya. Eh ternyata di Prodia nggak bisa rontgen gigi. Hehe. Yaudah aku tetap ke RS Hermina tuh. Dasar bandal. Prosesnya gampang dan nggak lama sih. Daftar ke bagian radiologi, terus karena nggak ada antrean jadi langsung rontgen. Habis itu bayar di kasir Rp 259 ribu kalo nggak salah. Kalau salah ya maafin to. Oya hasil rontgen bisa ditunggu tuh, nggak sampai 15 menit. Wadidaw, ternyata gigi bungsuku dua-duanya tumbuhnya nggak bagus. Kurang ruangan buat tumbuh gitu, kasyaan. Mana yang satu tumbuhnya melintang pula, pantas aja sakitnya nauzubillah.
Oya hampir lupa, obat yang semalam diresepin sama dokter dan aku tebus tuh kan udah aku minum ya. Dasar ada aja dramanya, ternyata aku alergi sama obat itu. Jadi sekujur badan gatal dan memerah. Hampir mirip biduran. Oh Tuhanku dari perkara gigi sampai gatal-gatal. Sungguh kisahku sangat super. Harusnya malamnya aku periksa lagi ke dokter sambil bawa hasil rontgen. Yaudah sekalian aja aku konsul soal obat itu kan. Eh ternyata dokternya cuti. Pulanglah anak rajin ini dengan hati yang hampa dan badan yang gatal-gatal. Sempat minum susu beruang untuk netralisir tapi tetap aja gatalnya nggak reda dan malah makin menjalar ke mana-mana. Bentol-bentol gatalnya tuh bikin geli sendiri rasanya. Oleh teman kontrakan yang baik hati aku dibelikan obat anti alergi dan air kelapa hijau. Obat alerginya beli di Kimia Farma dan bikin pengin nangis karena 6 biji harganya Rp 60 ribu. Yang lebih bikin pengin nangis, gatalnya akhirnya agak reda justru karena aku minum air kelapa hijau dua porsi.
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirku sekalian aja periksa dan kelarin masalah gigi bungsu di rumah. Kalau pun memang harus operasi, kan lebih nyaman di tengah keluarga plus karena pakai BPJS. Di rumah, aku fokus sembuhin gatal-gatal perkara alergi obat dulu tuh. Agak lama sih karena emang nggak mau ke dokter. Setelah sembuh, aku ke dokter gigi untuk periksa. Udah agak lama antre mau daftar, sampai di resepsionis mbaknya bilang kalau gigi bungsuku emang harus dioperasi jadi lebih baik langsung ke rumah sakit aja. Yaila, operasi. Kok serem ya dengernya. Nggak cuma itu, oleh karena mbaknya baik jadi aku tahu pulak kalau ternyata kartu BPJSku mati. Aku baru tahu kalau BPJS itu otomatis nonaktif saat umur 21 dan 25 (BPJS yang dari kantor ya). Karena statusku masih mahasiswa yang sedang berjuang untuk lulus agar tak terus menjadi penyumbang dana kampus, jadi untuk memperpanjang BPJS aku harus minta surat keterangan aktif kuliah. Ok, harus balik Semarang lagi.
Proses minta surat keterangan aktif kuliahku lumayan lama karena aku beberapa kali harus revisi surat. Begonya diriku, revisinya tuh hal-hal penting nggak penting semacam “logo kampusnya kegendutan” dan “kop suratnya nggak simetris”. Nyaris lima tahun kuliah sastra ngapain ajaaaaa. Setelah urusan surat kelar, itu surat langsung aku scan dan kirim ke bapake supaya bisa diurus admin kantornya. Jadi pas nanti aku balik ke rumah, BPJS udah aktif lagi dan siap operasi.
Ok, sampai pada akhirnya aku pulang ke rumah lagi dan memang udah siapin mental plus fisik buat operasi. Buat kelen yang mungkin bakal ngalamin operasi gigi bungsu juga, ini aku ceritain kekmana alurnya ya. Kalau mau disimak syukur, kalau nggak yaudah lain kali aja siapa tau cocok yakan.
Karena aku pakai BPJS, lebih dulu aku minta surat rujukan ke dokter faskes tingkat I. Dirujuk ke rumah sakit dan dokter spesialis bedah mulut. Kemarin itu aku milih di RSI Wonosobo. Nah setelah pegang surat rujukan, kelen datang tuh ke rumah sakit. Karena sebelumnya aku pernah opname di RSI, jadi daftarnya ke loket pasien lama. Setelah itu antre ke klinik spesialis bedah mulut, kebetulan di Wonosobo itu klinik tergolong baru. Dokternya baik banget dan ramah, namanya Dokter Anik. Gimana ya, selama diperiksa sama dia tuh hawanya adem aja gitu. Jadi pas Dokter Anik jelasin soal operasi aku ngerasa yakin dan percaya aja karena nanti dia sendiri yang bakal nanganin.
Waktu itu hari Kamis dan Dokter Anik sekalian buatin aku jadwal operasi hari Selasa karena Jumat dan Senin dia sudah penuh jadwal operasinya. Oleh asisten Dokter Anik, aku disarankan untuk pesan kamar dulu biar pas Selasa nggak perlu nunggu dapat kamar lagi. Oya, aku juga disuruh untuk rontgen paru-paru tuh. Yaudah setelah kelar periksa dokter, aku rontgen paru-paru dan pesan kamar.
Ini cerita soal rontgen paru-paru ya. Jadi aku disuruh ganti baju pakai baju khusus gitu dan lepas semua pakaian termasuk pakaian dalam. Agak risih juga sih karena petugas rontgennya tuh cowok. Nah proses rontgennya tuh dada disuruh nempel dan nekan ke alat gitu sambil berdiri dan nggak sampai 5 detik petugasnya bilang, “Ok udah selesai.” Hasil rontgen diambil saat hari H operasi. Setelah urusan rontgen dan pesan kamar beres, aku pulang dengan bahagia. Kenapa? Ya pokoknya kan aku anaknya gampang bahagia. Hehe maksa.
Ok, langsung ke hari operasi. Aku disuruh untuk datang ke rumah sakit pukul 7 pagi dan langsung ke ruang IGD. Sebelum itu, aku harus udah sarapan dan maksimal terakhir makan dan minum pukul 7 juga. Yap, menjelang operasi orang-orang wajib disuruh puasa kan. Aku ke rumah sakit ditemani ibukku yang cantik karena bapakku harus ke kantor agar bisa jajanin aku dan adikku sekolah agar menjadi pintar. Aku rasa pagi itu aku adalah orang tersiap untuk masuk IGD. Ya iyalah, jalan kaki dari parkiran dengan santai sambil bawa tas berisi perlengkapan opname menuju IGD. Sampai di IGD, aku disuruh untuk langsung menuju salah satu bilik sementara ibukku ke loket BPJS untuk ngurus administrasi. Di IGD aku gabut, akhirnya aku ke kamar mandi. Nggak nyambung ya? Biarin. Pas balik dari kamar mandi, perawat udah siap untuk pasang infus ke aku. Tapi aku disuruh pindah bilik karena pasien di bilik sebelahku meninggal dunia dan perawatnya khawatir aku takut. Ternyata bilik tempat aku pindah tuh bilik buat ibu melahirkan. Jadilah aku tiduran di kasur melahirkan dan di samping ada inkubator bayi.
Perawat siap-siap pasang infus ke aku. Itu bukan yang pertama kali sih. Tapi subhanallah rasanya kali itu lebih sakit. Perawatnya bilang, jarum infus yang dipakai untuk pasien operasi memang lebih besar jadi wajar kalau rasanya lebih sakit. Yaudah nggak apa-apa, udah biasa disakitin. Oya, aku sempat request ke perawatnya buat pasang infus di tangan kiriku aja karena biasanya aku dipasangin infus di kiri. Tapi perawatnya bilang nadiku lebih nyata di tangan kanan. Yah, pergerakan terbatas nih. Infus udah terpasang, aku siap-siap buat dipindah ke ruangan. Karena sebelumnya udah pesan kamar jadi nggak perlu tunggu lama. Aku naik kursi roda didorong sama mas-mas perawat menuju kamar. Rasanya agak aneh ya, kondisi fisik sehat tapi dipasangin infus dan didorong pakai kursi roda. Oya, aku dapat kamar yang paling dekat dengan ruang operasi ternyata. Kamarnya mungil tapi komplet dan overall nyaman.
Jadwal operasiku pukul 2 siang dan selama nunggu itu aku lapar hmm. Untung kebantu infus. Selama nunggu aku cuma nonton tv sambil main hp. Oh, ngobrol sama ibuk juga deng. Sayangnya tv di kamar tempatku menginap nggak ada kanal Global TV, jadi nggak bisa nonton Spongebob. Untung masih bisa nonton Upin Ipin. Sekitar pukul 12 bapak dan adikku nyusul ke rumah sakit. Hm, keluarga emang support system numero uno sih. Oya, aku sempat disuntik antibiotik tuh. Karena tragedi alergi antibiotik kemarin, aku dicek dulu alergi sama antibiotik yang mau disuntikin atau nggak. Caranya dengan disuntikin ke bawah kulit dan itu sakitnya nauzubillah. Setelah ternyata nggak alergi, baru deh antibiotik disuntikin lewat infus.
Dari pukul 2 siang, jadwal operasiku diundur ke pukul 4 sore karena Dokter Anik ada rapat dulu. Duh, deg-degannya makin lama nih. Pukul 3 sore, perawat datang bawain sabun antiseptik dan obat kumur. Aku disuruh mandi sampai benar-benar bersih dan kumur pakai itu obat. Oya, disuruh ganti baju juga pakai baju operasi. Bajunya lucu kayak baby doll dan warnanya biru kesukaanku. Ehehehehe. Perawat juga bawain penutup rambut kek shower cap gitu tapi nanti aja ah dipakainya pas mau masuk ruang operasi. Pukul 3.30 sore, ada karyawan rumah sakit yang datang ke kamar dan kek ngasih wejangan gitu. Dia juga ngajak aku sekeluarga buat doa bersama menjelang operasiku, plus ingetin buat solat dulu sebelum masuk ruang operasi. Asli rasanya tuh trenyuh banget pas kami sekeluarga dipimpin doa bersama. Pengin nangis, tapi aku sok kuat. Di tengah aku nunduk karena berdoa, aku sepintas baca id card karyawan itu. “Staff kerohanian dan instalasi pemulasaran jenazah”, gitu tulisannya. Tapi yang terbaca olehku cuma: staff pemulasaran jenazah. Oh Tuhanku, merinding.
Aku nggak tahu operasi gigi bungsu itu termasuk operasi besar apa nggak. Tapi yang jelas nanti aku bakal dibius total dan jujur ketakutan terbesarku sejak awal adalah aku nggak akan bangun lagi. Hehe.
Pukul 4, perawat datang dan bilang, “Sekarang ya.” Deg. Datang juga nih waktu. Aku ngelihat muka keluargaku tegang semua tapi tetap berusaha biasa aja untuk support aku. Setelah pakai penutup kepala dan benerin baju operasi, aku didorong pakai ranjang yang aku tidurin itu menuju ruang operasi. Oya, segala aksesoris harus dilepas tuh termasuk ikat rambut, perhiasan, gitu-gitu deh. Bahkan kalau saat itu aku pakai kutek pun harus dihapus dulu. Sebelum masuk ruang operasi, satu persatu keluarga menciumku dan menyemangati. Mwah, gitu.
Sepanjang didorong ke ruang operasi, aku dilihatin orang-orang di koridor. Ih, malu tahu. Di ruang operasi, aku ganti pakai kursi roda dan didorong lagi ke salah satu ruangan. Petugas yang bawa aku (aku nggak tahu dia perawat atau dokter) lucu banget dan sengaja bercanda buat cairin suasana biar aku nggak tegang. Sampai di ruangan, aku tiduran tuh di kasur operasi. Oh gini toh rasanya masuk ruang operasi. Aku dipasangin pendeteksi detak jantung di ibu jari kanan dan pendeteksi tekanan darah di lengan kiri. Jadi detak jantungku bisa dilihat pakai alat yang kek di film-film. Aku iseng dong coba tahan napas karena pengin tahu garisnya bakal kekmana, tetap naik turun atau lurus gitu. Hehe.
Seluruh petugas di ruangan itu ramah dan sengaja ngelucu buat cairin suasana. Waktu itu masih nunggu dokter anestesi jadi kan aku deg-degan ya. Mana itu ruangan dingin banget dan aku kebelet pipis. Ih tapi kan udah dipasangin alat-alat, masa mau pipis. Pukul 4.30 sore dokter anestesinya datang. Dia jelasin proses bius yang bakal dikasih ke aku. Intinya selain bius yang disuntikin, nanti aku bakal dikasih bius berupa gas gitu. Caranya dikasih pakai selang yang dimasukin lewat hidung sampai ke tenggorokan. Dokternya bilang kalau itu bakal kasih efek sakit di tenggorokan setelah aku sadar, jadi aku harus sabar katanya. Oya, saat itu Dokter Anik juga udah datang ke ruangan. Deg-degan aku makin menjadi, yaudah aku baca-baca doa aja tapi bukan doa makan atau doa bangun tidur kok. Saat bius disuntikin ke aku, hal terakhir yang aku ingat adalah dokter anestesi membacakan doa padaku dan bayi di ruang operasi seberang baru aja lahir.
Aku kebangun di ruang opname sekitar pukul 8 malam. Itu pun karena sengaja dibangunkan oleh ibuk dan perawat. Pengaruh obat bius belum hilang dari tubuhku sehingga aku rasanya masih ngantuk banget. Samar-samar aku dengar perawat bilang kalau aku harus dipaksa untuk sadar, minimal ada respon kek mata yang bergerak ketika diajak bicara. Kalau dibiarkan tidur dan nggak dibangunin, perawatnya bilang bisa-bisa aku tidur terus alias koma. Wididaw ngeri juga. Jadi di tengah ketidakberdayaanku, aku tetap berusaha setrongggg dan maksa diri buat respon. Berkali-kali aku dengar ibuk dan perawat manggil-manggil aku buat bikin aku terjaga. Tapi badanku lemes banget, aku cuma bisa respon lewat gerakan mata. Kondisinya saat itu bekas gigi yang udah dioperasi kek disumpal gitu pakai kassa dan diplester. Karena darahnya udah penuh, perawat bilang kalau dia mau ngelepas itu kassa. Yaudahlah mbak lepas aja, aku tak berdaya pun.
Kemudian datang perawat yang lain, seorang mas-mas, untuk memeriksa kadar oksigen dalam darahku. Katanya sih kurang, jadilah aku dipasangin selang oksigen di hidung. Oh gini toh rasanya pakai selang oksigen. Aku juga dicek tekanan darahnya dan sempat drop banget. Pokoknya selama pra dan pasca operasi, tekanan darahku naik turun. Setelah sekian lama aku dipaksa untuk terjaga, akhirnya aku boleh tidur. Aku kebangun besok paginya dengan kondisi bius yang udah hilang dan bekas jahitan operasi mulai cenut-cenut kek lagunya Smash. Jadi selain bagian gigi yang dicabut, bagian dalam pipiku juga dijahit entah kenapa. Lucunya, yang berasa nyeri tuh jahitan di pipi, bukannya bekas gigi yang dicabut. Oya, aku juga udah boleh makan tuh. Makannya susu tinggi protein. Ya iyalah masa makan daging wagyu.  Hehe. Mahal tahu.
Siangnya aku dapat menu makanan bubur sumsum, sengaja buat nyoba gitu katanya. Ih buat anak kok coba-coba. Rasanya sakit banget padahal bubur sumsum yang ibaratnya tinggal telan. Aku request ke bagian konsumsi (yailaa konsumsi, dikira acara himpunan) kalau makan malam aku mau susu lagi aja karena diminum pakai sedotan jadi lebih nyaman dikonsumsi olehku. Waktu itu aku belum bisa ngomong lancar, buka mulut pun dikit-dikit jadi berasa jadi pendiam aku tu.
Sorenya, Dokter Anik datang untuk cek kondisiku. Katanya aku harus coba makan mulai dari bubur halus, bubur kasar, sampai nasi secara bertahap. Nggak boleh makanan cair terus biar gigi dan mulut terbiasa. Aku juga udah boleh pulang malamnya karena tekanan darah udah normal, oksigen juga udah aman. Yayy pulang!
Sebelum pulang, aku minta suntikan pereda nyeri lagi karena rasanya tuh sakit banget kek ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Perawat datang untuk suntikin pereda nyeri lewat infus dan rasanya tuh rada sakit pas cairannya terasa ngalir di peredaran darah. Setelah cairan pereda nyeri masuk semua, perawat sekalian cabut infusku. Aku siap-siap pulang dan sempat mandi dulu tuh di rumah sakit plus nyobain gosok gigi dengan super hati-hati.
Ok, sekarang cerita pasca operasi. Selama pasca operasi, aku makan bubur bayi dicampur milo hasil kreasi ibukku yang cantik. Ibukku juga bikinin bubur sumsum tuh buat latihan makan yang lebih berat. Obat yang harus aku minum ada tiga dan setiap harinya aku harus pakai obat kumur tiga kali. Aku belum boleh mengendarai kendaraan sendiri selama dua minggu ke depan. Seminggu setelah operasi aku pun harus kontrol ke dokter. Oya, jahitan operasiku tuh benangnya yang nggak harus dilepas jadi bisa nyatu gitu nantinya.
Apa yang aku rasain pasca operasi? Jujur, setiap bangun pagi rasanya kepalaku sakit banget. Jadi setiap bangun pagi, aku cuma bisa diam sambil nunggu sakitnya agak reda selama lebih kurang lima belas menit sebelum akhirnya bisa bangkit dari kasur. Badanku juga masih mudah lemas. Oya, entah ini pengaruh operasi atau emang dasar bawaan, tapi aku jadi gampang skip. Jadi kadang aku bisa tiba-tiba diam dan lemot gitu. Eh, apa emang sebenarnya aku bego ya?
Yah gitu deh lebih kurang cerita aku dan gigi bungsuku. Overall, operasi gigi bungsu tidak menakutkan meski mungkin ada bagian-bagian dalam ceritaku ini yang menakutkan. Jadi buat kelen yang sedang atau nanti mengalami kisah gigi bungsu yang sama denganku, tenang dan beranilah! Gigi bungsu yang tumbuhnya nggak bagus memang lebih baik dicabut aja karena bisa bawa pengaruh jelek buat jangka panjang.
Oya, kalau mau tahu soal biaya total operasi gigi bungsu buat persiapan, kemarin itu aku ngintip bill yang ditebus orang tuaku. Totalnya lebih kurang Rp 7 juta sekian. Itu karena aku naik kelas sih fasilitasnya. Karena aku pakai BPJS, jadi orang tuaku hanya membayar sisa biaya naik kelasnya. Diam-diam aku ngerasa bersalah deng karena ngabisin banyak biaya.
Ok, itu tadi cerita gigi bungsuku. Selamat menikmati cerita kelen bersama gigi bungsu masing-masing! 

Sabtu, 21 April 2018

Kalau sudah demikian, rasanya mulai sekarang aku harus berancang-ancang untuk skenario terburuk dalam kisah ini.
Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan, bukan?

Selasa, 20 Maret 2018

Senja Hari ini


Pada penghujung senja rindu itu masih ada. Bersemayam dalam lubuk hati paling dalam. Diam, menanti keberanian untuk muncul menyeruak. Atau lebih baik tetap tinggal di sana?

Rindu menggantung di penghujung senja. Menanti Tuan mau bicara. Perihal cinta atau kisah tentang kita yang tak tahu entah bagaimana.



Bukit Diponegoro, 200318

Selasa, 27 Februari 2018

Pelarian ke Yogya


Hello!
Sudah lama sekali ku tak menulis tentang kisah perjalanan. Kan sedih ya, kayak yang nggak pernah jalan-jalan aja. Padahal emang iya, hehe. Nggak juga sih, jalan mah sering. Cuma kebanyakan jadi perjalanan tersendiri buat hati aja. Seperti yang terjadi awal bulan lalu, perjalanan super dadakan (masih selalu suka untuk jalan dadakan) ke Jogja yang kurang dari 24 jam. Ku namai perjalanan kali ini sebagai Perjalanan Patah Hati karena memang saat itu hatiku sedang patah-patahnya karena lelaki yang kisah tentangnya aku tuangkan dalam tiga unggahan sebelum unggahan ini.
Oke lanjut. Oleh karena patah hati yang dikhawatirkan akan berkepanjangan itu, akhirnya aku memutuskan untuk harus escape ke suatu tempat. Entah kemana yang penting aku lupa sama remeh-temeh tentang patah hati sialan itu. Walau pun cuma sejenak, yang penting ada jeda untuk hati dan otakku bernapas. Pilihanku jatuh pada Yogyakarta. Masih dekat dengan Semarang, aksesnya mudah, banyak teman-teman di sana untuk direpotin hehe, dan banyak tujuan yang bisa ku datangi secara random tentunya. Sejak SMA dulu, Yogyakarta masih saja menjadi salah satu tempat lari paling ku sukai. Mengesampingkan semua kenangan yang pernah terjadi di tiap sudut kotanya, aku lebih suka membuat banyak kenangan lagi untuk diriku sendiri.
            Perjalanan Patah Hati-ku akan ku lakukan bersama salah satu teman kontrakan, sebut sama namanya eNur. Eh jangan deng, sebut saja namanya If. Takutnya nanti kalau dia baca tulisan ini, dia akan menggalang massa untuk demo besar-besaran karena eNur adalah panggilan kesayangan dari para penghuni kontrakan. Seharusnya kami pergi pada tanggal 6 Januari dengan sejumlah ancang-ancang perjalanan yang telah kami rancang. Bad luck, si If mendadak sakit perut parah dan kami harus mengundur perjalanan satu hari kemudian.
            7 Januari 2018. Setelah memastikan bahwa perut If tidak mengulah lagi, kami mantap berangkat ke Yogyakarta. Oh, hampir lupa. Sengaja aku dan If berangkat naik kereta api (rencananya) sebab kami berdua menyukai perjalanan dalam kereta api. Buatku pribadi, aku selalu suka atmosfer stasiun terutama di Semarang. Itu karena di stasiun-stasiun Semarang selalu diputar instrumen lagu-lagu Semarang seperti Empat Penari dan itu menenangkan di samping suara ting-tung-ting-tung pemberitahuan hehehe. Terkadang aku suka ke stasiun untuk hanya duduk, melihat kereta api datang dan pergi, mendengarkan instrumen-instrumen stasiun, beberapa kali sambil makan Roti-O.
            Kembali ke perjalanan. Fyi, jalur kereta api (aku selalu menyebut lengkap “kereta api”, sebab di Medan “kereta” berarti “sepeda motor” dan ku kadang salah arti) Semarang-Yogyakarta tidak ada. Kalau ingin ke Yogyakarta dari Semarang naik kereta api, maka jalurnya adalah Semarang-Solo-Yogyakarta, pun sebaliknya. Permasalahannya, jadwal kereta api Semarang-Solo dan sebaliknya hanya ada satu kali sehari. Semarang-Solo pada pukul 9 pagi dan Solo-Semarang pada pukul 5.20 pagi. Dan entah sejak kapan aku kurang tahu, tiket kereta Semarang-Solo dan sebaliknya hanya bisa dibeli secara go-show atau minimal 3 jam sebelum keberangkatan. Biasanya aku masih bisa pesan di Indomaret plus pilih tempat duduk. Hmm. Jadilah aku dan If harus berangkat pagi-pagi sekali ke stasiun mengingat jarak kontrakan ke stasiun memakan waktu kurang lebih 30-45 menit.
            Ekspektasi berangkat dari kontrakan pukul 6 pagi rupanya memang hanya sekadar angan belaka. Aku dan If sama-sama kesiangan dan baru berangkat dari kontrakan sekitar pukul 8.15. Kami sengaja naik Grab dan bapak Grabnya baik sekali sebab mau berkendara lebih cepat agar kami tak ketinggalan kereta api. Sampai di Stasiun Poncol pukul 8.50, masih ada waktu untuk beli tiket dan syukurnya nggak antri. Sialnya, tiket Semarang-Solo habis. Kami lupa bahwa saat itu masih suasana liburan terlebih hari itu adalah hari Minggu. Aku udah balik kanan dari loket ketika tiba-tiba If nyelonong ke depan.
            “Mbak, kalau tiket ke Surabaya masih ada?”
            Buset ini anak. Surabaya loh. Padahal besok paginya aku ada janji dengan dosen penguji. Untungnya tiket ke Surabaya juga habis. Hampir saja If nanya tiket ke Malang namun sebelum itu aku langsung narik dia untuk beli Roti-O karena aku lapar sekali. Sambil makan Roti-O, kami berdua duduk dan mikir. Pokoknya perjalanan ini harus tetap jadi, bagaimana pun caranya. Dan cara lain menuju Yogyakarta adalah dengan naik bus yang mana terminal busnya masih satu distrik dengan kontrakan kami. Selamat tinggal naik ongkos naik Grab, selamat tinggal pergi naik kereta api.

ma tummy's luvvv

            “Ayo kita coba naik BRT!” Aku yang memang nyaris nggak pernah naik BRT terlalu excited untuk mencoba. Apalagi dengan KTM, kemana pun naik BRT kami hanya perlu membayar Rp 1000 saja. Menarik bukan?
            Halte BRT ada tepat di seberang Stasiun Poncol. Dan untungnya kami tidak harus menunggu lama sampai BRT tujuan kami datang. Kami harus ganti BRT karena alurnya begini: Halte Poncol-Balaikota-Banyumanik. Oke, baru saja duduk di dalam BRT yang tidak begitu penuh dan menyerahkan KTM untuk dapat harga spesial, petugas BRTnya bilang,
            “Maaf, Mbak. KTM hanya bisa dipakai saat weekdays.”

menanti brt

            Tak apa. Toh tarif BRT juga tidak mahal, jauh-dekat hanya Rp 2500 meski pun ganti halte. Singkat cerita aku dan If sampai di Terminal Sukun. Bus Semarang-Yogyakarta ada di tiap jam di setiap harinya mulai pukul 6 pagi sampai 9 malam. Pilihan kami jatuh ke bus Ramayana atau Nusantara, tapi aku lebih condong ke Ramayana karena spacenya lebih lebar dan nggak engap. Tapi waktu itu bus yang sudah siap berangkat adalah Nusantara. Ya sudah sama saja yang penting sama-sama menuju Yogya. Kami naik ke bus lalu membeli jajan pada pedagang asongan yang naik ke bus sebelum berangkat. Roti-O tadi rupanya tidak cukup membungkam cacing di perut.
            “If, kamu masih ada uang kan buat bayar bus? Uangku tinggal 20 ribu soalnya tadi buat bayar Grab, Roti-O, BRT, beli jajan barusan.” Tiba-tiba aku teringat.
            “Ada kok tenang aja.” Santai banget si If ngomong. Aku pun baru ingat bahwa kami berdua sengaja bawa uang pas-pasan.
            “Coba cek dulu. Ini satu orang bayar 45 ribu, berarti kita berdua 90 ribu.” Barulah If ngerogoh saku celana, saku jaket, sampai tas buat menghitung rupiah.
            “Kok cuma ada 50 ribu, ya?” Dyar!
            “Ya udah ayo cepetan kita turun mumpung busnya belum jalan!” Panik aku langsung jalan turun dari bus. Baru keluar dari bus, pak kondektur teriak.
            “Mau ke mana, Mbak? Ini udah mau berangkat.”
            “Ke ATM, Pak. Uangnya kurang.”
            Lha ini gimana udah mau berangkat busnya.”
            “Tinggal aja pak.” Baru aku ngomong begitu, busnya udah mulai jalan dan aku tersadar lagi sesuatu.
            “Pak, teman saya ketinggalan! Belum turun dari bus!”
Agak bete sebenernya sama If, habisnya dia nggak cek ulang. Dan semakin bete ketika sesaat setelah dia turun dari bus (nggak jadi kebawa sampai Yogya), dia mengeluarkan 50 ribu rupiah lagi dari kantung celananya dan dengan muka lempeng bilang,
            “Eh, ini deng uangnya. Ada ternyata.”
            Aku hanya menghela napas panjang. Panjang banget. Saat itu Semarang lagi panas-panasnya ditambah polusi dari bus yang bertebaran di sekitar. Keringet udah bercucuran dan aku mulai nggak betah. Akhirnya aku mengajak If untuk nyebrang ke supermarket di seberang terminal. Mending sekalian ambil uang lebih di ATM dari pada nanti kejadian lagi kayak yang barusan. Lumayan, ngadem sebentar di supermarket dan nebeng ke kamar mandi. Sekalian benerin muka yang udah acak-acakan kena panas.

well thankyou, supermarket for the kamar mandi.
            Sekembalinya kami ke Terminal Sukun, Thank God, bus Ramayana favorit aku tiap ke Yogya udah datang dengan manis dan siap berangkat. Curiga ini konspirasi. Akhirnya aku dan If berhasil berangkat ke Yogya naik bus. Selama perjalanan hujan turun dan hampir saja ingat tersangka penyebab patah hatiku. Mending aku tidur saja kali ya.

hujan syahdu, hujan sendu.

            “If, aku mau tidur ya.”
            “Ya udah, Mbak. Tidur aja. Aku mau menikmati hujan di perjalanan kok, jadi nggak mau tidur.”
            Tapi nggak sampai lima menit kemudian, si If udah molor duluan dengan pulasnya. Hmm menikmati hujan di perjalanan banget ya. Memasuki Magelang, aku terbangun dan memilih untuk membalas satu per satu chat di gawai. Dan masih saja tidak ku temui namanya muncul di notifikasi gawaiku. Tuh kan, sendu lagi. Ku ingat lagi bahwa perjalanan ini bertujuan untuk melupakan (sejenak) patah hatiku untuk kemudian nanti aku bersiap membenahi hati kembali.
            Aku dan If memutuskan untuk turun di Terminal Giwangan yang lebih dekat dengan pusat kota. Kami sampai di Yogya sekitar pukul 2 siang. Ah, aku jadi ingat lagu Terminal Giwangan. Aku mung koyo Terminal Giwangan: mung mbok anggo sambat, mbok nggo istirahat. Rasane ora karuan, ning ati loro tenan. Cinta matiku kau anggap dolanan. Sudah, sudah ya sendunya. Oh iya, tujuan pertama secara random kami putuskan yaitu Taman Sari. Dari Giwangan kami memutuskan untuk naik Gojek. Kebetulan saat itu salah satu teman kontrakan kami mendapat voucher Gojek satu juta rupiah dan nganggur. Jadilah perjalanan ini secara tidak langsung disponsori oleh voucher nganggur teman kami. (Hai, Ida. Makasih banyak banyak loh.)
            Permasalahannya adalah gesekan antara angkutan online dan konvensional di Yogya ternyata lebih terasa dari pada di Semarang. Aku dan If tahu bahwa tidak mungkin kami pesan Gojek dari dalam Giwangan, maka kami jalan agak menjauh dari Giwangan. Baru keluar dari Giwangan, ada pos ojek konvensional dengan spanduk tertulis kurang lebih begini: ojek online dilarang menjemput penumpang dalam radius 100m kanan-kiri. Nah yang jadi pr, dalam setiap kurang lebih 200m itu ada pos ojek konvensional. Jadi di mana-mana nggak boleh mesen ojek online dong hiks. Jadilah aku dan If jalan lebih jauh lagi sampai ke SPBU di dekat situ. Yogya panas juga saat itu, untung ku bawa topi.
            Aku dan If turun tidak langsung di depan pintu masuk menuju Taman Sari. Nggak tahu deh kurang kerjaan banget emang jauh-jauhin jalan kaki aja. Tapi untungnya pas sampai di situ, Yogya sudah menuju sore syahdu. Angin asoy sekali mengiringi kami jalan kaki. Di Taman Sari pun, aku dan If memilih untuk duduk diam sambil menikmati angin asoy dan masing-masing sibuk dengan pikiran yang entah apa. Ah, aku selalu suka suasana seperti ini. Dan mengapa Taman Sari? Entah, tapi aku tidak salah pilih tempat karena di sana syahdu sekali. Thank God lagi, sama sekali waktu itu tak terpikir olehku ia yang membuat hatiku patah.

see you when i see you, Taman Sari.
            Dari Taman Sari, aku dan If jalan kaki ke Alun-alun Kidul untuk beli cilok Gajahan. Wahhh ini salah satu yang udah aku rencanakan di perjalanan sih. Ambil nomor antrian, ternyata lumayan juga. Ada 20an orang sebelum aku dan If, padahal kami udah lapar karena dari pagi belum makan berat. Jadilah sambil menunggu antrian kami makan di angkringan dekat situ. Sambil makan, sesekali aku dan If bergantian ngintip antrian. Hampir 2 jam ngantri, akhirnya cilok Gajahan mendarat ke tangan kami. Dan kalian harus tahu sih, demi apa pun ini enak banget!!!! Aku termasuk penyuka cilok dan sejauh ini, Gajahan adalah cilok terenak yang pernah aku makan. Aku seakan nggak rela menghabiskan cilok itu padahal perut pun terasa sudah penuh. Akhirnya aku bungkus sisa cilok dan ku bawa pulang Semarang. Besoknya pas sampai Semarang, aku lupa kalau aku punya cilok dan berakhir basi di tas. Jorok nggak tuh, hehehehe. (Ini kalau gebetan baca, ilfeel nggak ya doi wkwk.)
            Aku dan If masih kekeuh untuk naik kereta api. Maka tujuan kami selanjutnya harus ke Solo dan pulang ke Semarang naik kereta api dari sana. Dari Alun-alun Kidul sehabis makan cilok Gajahan, kami menuju ke Stasiun Tugu untuk beli tiket Yogya-Solo. Sampai di stasiun, ramai sekali rombongan berkoper. Wah berarti banyak juga nih wisatawan dari jauh. Sementara aku cuma pakai slingbag kecil dan If pakai totebag. Kendala datang lagi, tiket Yogya-Solo ludes. Otak kami sama-sama beku sesaat, bingung harus gimana tapi masih sama-sama yakin kalau kami harus pulang naik kereta api. Dan lagi, baterai gawai kami sama-sama sudah teriak minta diisi. Plus, Yogya hujan lumayan deras. Syahdu, kan?
            Aku dan If jalan kaki ke Malioboro karena seingat kami ada Indomaret Point di situ. Lumayan kan, numpang ngisi baterai. Wop tenang, kami beli kopi kok di kafenya. Lumayan kan bikin anget. Sambil ngangetin badan yang lumayan basah kena hujan dari stasiun ke Malioboro (plus sepatuku basah ke dalem gegara nginjek genangan air), kami mikir gimana caranya sampai Solo. Saat itu sudah pukul 8 dan akhirnya kami memutuskan untuk ke Terminal Jombor, naik bus sampai Solo. Kenapa Jombor? Karena tadi siang kami sudah datang lewat Giwangan dan If belum pernah ke Jombor, sederhana bukan? Setelah baterai dirasa cukup, kami jalan kaki dulu menyusuri Malioboro. Merasakan hawa Yogya yang sudah lama tak ku sambangi. Jalan kaki menyusuri Malioboro selalu menyenangkan. Setelah capek, kami pesan Grab ke Jombor. Grab-Gojek-Grab-Gojek, gitu ae. Dalam perjalanan ke Jombor, terjadi percakapan seputar perjalanan aku dan If ke Yogya dengan mas Grab.
            “Setahu saya, Jombor jam 9 malam sudah tutup deh, Mbak.” Kata Mas Grab. Aku lihat jam di gawai, sudah setengah sepuluh. Aku lupa kalau tadi sempat chat temanku yang di Yogya, nanya gimana caranya ke Solo naik bus. Temenku bilang, aku harus ke Giwangan karena di sana buka 24 jam. Tapi balik lagi ke alasan sederhana tadi, aku dan If tetap harus ke Jombor.
            “Ini kalau bener Jombor udah tutup, mengingat alasan tadi kenapa Mbak ke Jombor, sumpah ya Mbak adalah orang tergabut yang pernah saya temui.” Terima kasih, Mas Grab. Ku anggap itu sebuah pujian.
            Dyar! Sampai di Jombor sudah gelap. Sebenarnya aku tahu sih kalau Jombor tutup jam 9 malam karena dulu sering ke Yogya naik bus. Tapi aku pura-pura nggak tahu aja. Thank God, mas Grabnya baik. Kami dianterin sampai ke Jogja City Mall untuk pesen Grab/Gojek/apalah itu. Untung nggak ditinggal gitu aja di Jombor nan gulita. Di JCM, sedang ada live music. Lumayan, hiburan. Aku dan If akhirnya pesan Gojek pakai voucher karena jarak ke Giwangan lumayan jauh.
            Sampai Giwangan, pas sekali ada bus ke Solo yang mau berangkat. Aku hafal dengan bus itu karena beberapa kali naik, bus Eka. 15ribu dapet air mineral, AC dingin maksimal. Selama perjalanan ke Solo, ku melemaskan badan yang seharian pecicilan nemplok ke sana-sini. Aku baru sadar kalau perjalanan kali ini lebih banyak ku habiskan dengan jalan kaki. Hebat juga aku (bangga sendiri). Kemudian ku tertidur sampai Terminal Tirtonadi, Solo.
            Kami sampai di Tirtonadi sekitar pukul 2 pagi dan memutuskan untuk segera ke mushola, ketemu sama Tuhan dulu. Setelah itu langsung menuju Stasiun Balapan. Kereta api, here we go! Sampai di stasiun, cek loket tiket baru bisa beli pukul 3 pagi, Ya sudah, karena lapar aku dan If keluar lagi dari stasiun untuk cari makan. Kata If, ada nasi liwet enak di seberang stasiun. Dan beneran enak, entah karena lapar atau memang enak. Nggak mahal pula. Menjelang pukul 3, aku dan If balik untuk beli tiket kereta api. Asli, sebahagia itu rasanya bisa beli tiket kereta api karena yahhh finally!
            Selanjutnya tinggal menuju jam keberangkatan dan ku habiskan dengan gabut. Mau tidur udah nggak bisa lagi. Kami sengaja duduk dekat jalur 1 karena memang itu jalur kereta ke Semarang. Selama gabut itu, aku mengamati orang lalu lalang dan rutinitas dimulai. Orang pergi bekerja, sekolah, dan ke mana pun. Suka lihatnya. Bagaimana orang lalu lalang dengan tujuan dan kebutuhan masing-masing. Bagaimana orang datang dan pergi silih berganti. Menjelang 5.20, kok keretanya nggak dateng-dateng ya? Padahal biasanya udah nongkrong dengan manis. Eh ternyata pindah jalur hmm. Jadilah aku dan If lari-larian ke jalur di seberang karena kereta udah mau berangkat.
            Naik kereta api, yashhh!!!!! Akhirnyaaaaa!!!!! Kesampaian juga keinginanku untuk naik kereta api. Iya, sebahagia itu. Terima kasih, Yogya. Telah menampung pelarianku atas patah hati di Semarang. Terima kasih, Solo. Telah membuka jalanku naik kereta api. Terima kasih, If. Sudah menjadi teman jalanku yang super fun! Terima kasih, Hati. Sudah mau berbesar untuk menerima kenyataan ini. Semoga Hati tak jemu untuk mencoba dan merasakan patah lagi. Sebab tidak ada mencinta tanpa rasa sakit, bukan? Semua hanya perihal sinkronisitas.
            Perkara Perjalanan Patah Hati yang random ini, aku kembali disadarkan bahwa yang istimewa dari sebuah perjalanan adalah kisah-kisah tak terduga yang hadir di dalamnya. Dan aku tak sabar untuk segera berjalan lagi. Namun tidak untuk Perjalanan Patah Hati. Perjalanan Jatuh Cinta, perhaps? Malang? Lombok? Kiwww!



xoxo, me.