Hello!
Sudah
lama sekali ku tak menulis tentang kisah perjalanan. Kan sedih ya, kayak yang
nggak pernah jalan-jalan aja. Padahal emang iya, hehe. Nggak juga sih, jalan
mah sering. Cuma kebanyakan jadi perjalanan tersendiri buat hati aja. Seperti
yang terjadi awal bulan lalu, perjalanan super dadakan (masih selalu suka untuk
jalan dadakan) ke Jogja yang kurang dari 24 jam. Ku namai perjalanan kali ini
sebagai Perjalanan Patah Hati karena memang saat itu hatiku sedang
patah-patahnya karena lelaki yang kisah tentangnya aku tuangkan dalam tiga
unggahan sebelum unggahan ini.
Oke
lanjut. Oleh karena patah hati yang dikhawatirkan akan berkepanjangan itu,
akhirnya aku memutuskan untuk harus escape
ke suatu tempat. Entah kemana yang penting aku lupa sama remeh-temeh tentang
patah hati sialan itu. Walau pun cuma sejenak, yang penting ada jeda untuk hati
dan otakku bernapas. Pilihanku jatuh pada Yogyakarta. Masih dekat dengan
Semarang, aksesnya mudah, banyak teman-teman di sana untuk direpotin hehe, dan
banyak tujuan yang bisa ku datangi secara random tentunya. Sejak SMA dulu,
Yogyakarta masih saja menjadi salah satu tempat lari paling ku sukai.
Mengesampingkan semua kenangan yang pernah terjadi di tiap sudut kotanya, aku
lebih suka membuat banyak kenangan lagi untuk diriku sendiri.
Perjalanan
Patah Hati-ku akan ku lakukan bersama salah satu teman kontrakan, sebut sama
namanya eNur. Eh jangan deng, sebut
saja namanya If. Takutnya nanti kalau dia baca tulisan ini, dia akan menggalang
massa untuk demo besar-besaran karena eNur adalah panggilan kesayangan dari
para penghuni kontrakan. Seharusnya kami pergi pada tanggal 6 Januari dengan
sejumlah ancang-ancang perjalanan yang telah kami rancang. Bad luck, si If mendadak sakit perut parah dan kami harus mengundur
perjalanan satu hari kemudian.
7 Januari 2018. Setelah memastikan
bahwa perut If tidak mengulah lagi, kami mantap berangkat ke Yogyakarta. Oh,
hampir lupa. Sengaja aku dan If berangkat naik kereta api (rencananya) sebab
kami berdua menyukai perjalanan dalam kereta api. Buatku pribadi, aku selalu
suka atmosfer stasiun terutama di Semarang. Itu karena di stasiun-stasiun
Semarang selalu diputar instrumen lagu-lagu Semarang seperti Empat Penari dan itu menenangkan di
samping suara ting-tung-ting-tung pemberitahuan hehehe. Terkadang aku suka ke
stasiun untuk hanya duduk, melihat kereta api datang dan pergi, mendengarkan
instrumen-instrumen stasiun, beberapa kali sambil makan Roti-O.
Kembali ke perjalanan. Fyi, jalur
kereta api (aku selalu menyebut lengkap “kereta api”, sebab di Medan “kereta”
berarti “sepeda motor” dan ku kadang salah arti) Semarang-Yogyakarta tidak ada.
Kalau ingin ke Yogyakarta dari Semarang naik kereta api, maka jalurnya adalah
Semarang-Solo-Yogyakarta, pun sebaliknya. Permasalahannya, jadwal kereta api
Semarang-Solo dan sebaliknya hanya ada satu kali sehari. Semarang-Solo pada
pukul 9 pagi dan Solo-Semarang pada pukul 5.20 pagi. Dan entah sejak kapan aku
kurang tahu, tiket kereta Semarang-Solo dan sebaliknya hanya bisa dibeli secara
go-show atau minimal 3 jam sebelum
keberangkatan. Biasanya aku masih bisa pesan di Indomaret plus pilih tempat
duduk. Hmm. Jadilah aku dan If harus berangkat pagi-pagi sekali ke stasiun
mengingat jarak kontrakan ke stasiun memakan waktu kurang lebih 30-45 menit.
Ekspektasi berangkat dari kontrakan
pukul 6 pagi rupanya memang hanya sekadar angan belaka. Aku dan If sama-sama
kesiangan dan baru berangkat dari kontrakan sekitar pukul 8.15. Kami sengaja
naik Grab dan bapak Grabnya baik sekali sebab mau berkendara lebih cepat agar
kami tak ketinggalan kereta api. Sampai di Stasiun Poncol pukul 8.50, masih ada
waktu untuk beli tiket dan syukurnya nggak antri. Sialnya, tiket Semarang-Solo
habis. Kami lupa bahwa saat itu masih suasana liburan terlebih hari itu adalah
hari Minggu. Aku udah balik kanan dari loket ketika tiba-tiba If nyelonong ke
depan.
“Mbak, kalau tiket ke Surabaya masih
ada?”
Buset ini anak. Surabaya loh.
Padahal besok paginya aku ada janji dengan dosen penguji. Untungnya tiket ke
Surabaya juga habis. Hampir saja If nanya tiket ke Malang namun sebelum itu aku
langsung narik dia untuk beli Roti-O karena aku lapar sekali. Sambil makan
Roti-O, kami berdua duduk dan mikir. Pokoknya perjalanan ini harus tetap jadi,
bagaimana pun caranya. Dan cara lain menuju Yogyakarta adalah dengan naik bus
yang mana terminal busnya masih satu distrik dengan kontrakan kami. Selamat
tinggal naik ongkos naik Grab, selamat tinggal pergi naik kereta api.
 |
ma tummy's luvvv |
“Ayo kita coba naik BRT!” Aku yang
memang nyaris nggak pernah naik BRT terlalu excited
untuk mencoba. Apalagi dengan KTM, kemana pun naik BRT kami hanya perlu
membayar Rp 1000 saja. Menarik bukan?
Halte BRT ada tepat di seberang
Stasiun Poncol. Dan untungnya kami tidak harus menunggu lama sampai BRT tujuan
kami datang. Kami harus ganti BRT karena alurnya begini: Halte
Poncol-Balaikota-Banyumanik. Oke, baru saja duduk di dalam BRT yang tidak
begitu penuh dan menyerahkan KTM untuk dapat harga spesial, petugas BRTnya
bilang,
“Maaf, Mbak. KTM hanya bisa dipakai
saat weekdays.”
 |
menanti brt |
Tak apa. Toh tarif BRT juga tidak
mahal, jauh-dekat hanya Rp 2500 meski pun ganti halte. Singkat cerita aku dan
If sampai di Terminal Sukun. Bus Semarang-Yogyakarta ada di tiap jam di setiap
harinya mulai pukul 6 pagi sampai 9 malam. Pilihan kami jatuh ke bus Ramayana
atau Nusantara, tapi aku lebih condong ke Ramayana karena spacenya lebih lebar dan nggak engap.
Tapi waktu itu bus yang sudah siap berangkat adalah Nusantara. Ya sudah sama
saja yang penting sama-sama menuju Yogya. Kami naik ke bus lalu membeli jajan
pada pedagang asongan yang naik ke bus sebelum berangkat. Roti-O tadi rupanya
tidak cukup membungkam cacing di perut.
“If, kamu masih ada uang kan buat
bayar bus? Uangku tinggal 20 ribu soalnya tadi buat bayar Grab, Roti-O, BRT,
beli jajan barusan.” Tiba-tiba aku teringat.
“Ada kok tenang aja.” Santai banget
si If ngomong. Aku pun baru ingat bahwa kami berdua sengaja bawa uang
pas-pasan.
“Coba cek dulu. Ini satu orang bayar
45 ribu, berarti kita berdua 90 ribu.” Barulah If ngerogoh saku celana, saku
jaket, sampai tas buat menghitung rupiah.
“Kok cuma ada 50 ribu, ya?” Dyar!
“Ya udah ayo cepetan kita turun
mumpung busnya belum jalan!” Panik aku langsung jalan turun dari bus. Baru
keluar dari bus, pak kondektur teriak.
“Mau ke mana, Mbak? Ini udah mau
berangkat.”
“Ke ATM, Pak. Uangnya kurang.”
“Lha
ini gimana udah mau berangkat busnya.”
“Tinggal aja pak.” Baru aku ngomong
begitu, busnya udah mulai jalan dan aku tersadar lagi sesuatu.
“Pak, teman saya ketinggalan! Belum
turun dari bus!”
Agak
bete sebenernya sama If, habisnya dia nggak cek ulang. Dan semakin bete ketika
sesaat setelah dia turun dari bus (nggak jadi kebawa sampai Yogya), dia
mengeluarkan 50 ribu rupiah lagi dari kantung celananya dan dengan muka lempeng
bilang,
“Eh, ini deng uangnya. Ada ternyata.”
Aku hanya menghela napas panjang.
Panjang banget. Saat itu Semarang lagi panas-panasnya ditambah polusi dari bus
yang bertebaran di sekitar. Keringet udah bercucuran dan aku mulai nggak betah.
Akhirnya aku mengajak If untuk nyebrang ke supermarket di seberang terminal.
Mending sekalian ambil uang lebih di ATM dari pada nanti kejadian lagi kayak
yang barusan. Lumayan, ngadem sebentar di supermarket dan nebeng ke kamar
mandi. Sekalian benerin muka yang udah acak-acakan kena panas.
 |
well thankyou, supermarket for the kamar mandi. |
Sekembalinya kami ke Terminal Sukun,
Thank God, bus Ramayana favorit aku tiap ke Yogya udah datang dengan manis dan
siap berangkat. Curiga ini konspirasi. Akhirnya aku dan If berhasil berangkat
ke Yogya naik bus. Selama perjalanan hujan turun dan hampir saja ingat
tersangka penyebab patah hatiku. Mending aku tidur saja kali ya.
 |
hujan syahdu, hujan sendu. |
“If, aku mau tidur ya.”
“Ya udah, Mbak. Tidur aja. Aku mau
menikmati hujan di perjalanan kok, jadi nggak mau tidur.”
Tapi nggak sampai lima menit
kemudian, si If udah molor duluan dengan pulasnya. Hmm menikmati hujan di
perjalanan banget ya. Memasuki Magelang, aku terbangun dan memilih untuk
membalas satu per satu chat di gawai. Dan masih saja tidak ku temui namanya
muncul di notifikasi gawaiku. Tuh kan, sendu lagi. Ku ingat lagi bahwa
perjalanan ini bertujuan untuk melupakan (sejenak) patah hatiku untuk kemudian
nanti aku bersiap membenahi hati kembali.
Aku dan If memutuskan untuk turun di
Terminal Giwangan yang lebih dekat dengan pusat kota. Kami sampai di Yogya
sekitar pukul 2 siang. Ah, aku jadi ingat lagu Terminal Giwangan. Aku mung koyo Terminal Giwangan: mung mbok
anggo sambat, mbok nggo istirahat. Rasane ora karuan, ning ati loro tenan.
Cinta matiku kau anggap dolanan. Sudah, sudah ya sendunya. Oh iya, tujuan
pertama secara random kami putuskan yaitu Taman Sari. Dari Giwangan kami
memutuskan untuk naik Gojek. Kebetulan saat itu salah satu teman kontrakan kami
mendapat voucher Gojek satu juta
rupiah dan nganggur. Jadilah perjalanan ini secara tidak langsung disponsori
oleh voucher nganggur teman kami.
(Hai, Ida. Makasih banyak banyak loh.)
Permasalahannya adalah gesekan
antara angkutan online dan
konvensional di Yogya ternyata lebih terasa dari pada di Semarang. Aku dan If
tahu bahwa tidak mungkin kami pesan Gojek dari dalam Giwangan, maka kami jalan
agak menjauh dari Giwangan. Baru keluar dari Giwangan, ada pos ojek
konvensional dengan spanduk tertulis kurang lebih begini: ojek online dilarang menjemput penumpang
dalam radius 100m kanan-kiri. Nah yang jadi pr, dalam setiap kurang lebih 200m
itu ada pos ojek konvensional. Jadi di mana-mana nggak boleh mesen ojek online dong hiks. Jadilah aku dan If
jalan lebih jauh lagi sampai ke SPBU di dekat situ. Yogya panas juga saat itu,
untung ku bawa topi.
Aku dan If turun tidak langsung di
depan pintu masuk menuju Taman Sari. Nggak tahu deh kurang kerjaan banget emang
jauh-jauhin jalan kaki aja. Tapi untungnya pas sampai di situ, Yogya sudah
menuju sore syahdu. Angin asoy sekali mengiringi kami jalan kaki. Di Taman Sari
pun, aku dan If memilih untuk duduk diam sambil menikmati angin asoy dan
masing-masing sibuk dengan pikiran yang entah apa. Ah, aku selalu suka suasana
seperti ini. Dan mengapa Taman Sari? Entah, tapi aku tidak salah pilih tempat
karena di sana syahdu sekali. Thank God lagi, sama sekali waktu itu tak
terpikir olehku ia yang membuat hatiku patah.
 |
see you when i see you, Taman Sari. |
Dari Taman Sari, aku dan If jalan kaki
ke Alun-alun Kidul untuk beli cilok Gajahan. Wahhh ini salah satu yang udah aku
rencanakan di perjalanan sih. Ambil nomor antrian, ternyata lumayan juga. Ada
20an orang sebelum aku dan If, padahal kami udah lapar karena dari pagi belum
makan berat. Jadilah sambil menunggu antrian kami makan di angkringan dekat
situ. Sambil makan, sesekali aku dan If bergantian ngintip antrian. Hampir 2
jam ngantri, akhirnya cilok Gajahan mendarat ke tangan kami. Dan kalian harus
tahu sih, demi apa pun ini enak banget!!!! Aku termasuk penyuka cilok dan
sejauh ini, Gajahan adalah cilok terenak yang pernah aku makan. Aku seakan
nggak rela menghabiskan cilok itu padahal perut pun terasa sudah penuh.
Akhirnya aku bungkus sisa cilok dan ku bawa pulang Semarang. Besoknya pas sampai
Semarang, aku lupa kalau aku punya cilok dan berakhir basi di tas. Jorok nggak
tuh, hehehehe. (Ini kalau gebetan baca, ilfeel nggak ya doi wkwk.)
Aku dan If masih kekeuh untuk naik kereta api. Maka
tujuan kami selanjutnya harus ke Solo dan pulang ke Semarang naik kereta api
dari sana. Dari Alun-alun Kidul sehabis makan cilok Gajahan, kami menuju ke
Stasiun Tugu untuk beli tiket Yogya-Solo. Sampai di stasiun, ramai sekali
rombongan berkoper. Wah berarti banyak juga nih wisatawan dari jauh. Sementara
aku cuma pakai slingbag kecil dan If
pakai totebag. Kendala datang lagi,
tiket Yogya-Solo ludes. Otak kami sama-sama beku sesaat, bingung harus gimana
tapi masih sama-sama yakin kalau kami harus pulang naik kereta api. Dan lagi,
baterai gawai kami sama-sama sudah teriak minta diisi. Plus, Yogya hujan
lumayan deras. Syahdu, kan?
Aku dan If jalan kaki ke Malioboro
karena seingat kami ada Indomaret Point di situ. Lumayan kan, numpang ngisi
baterai. Wop tenang, kami beli kopi kok di kafenya. Lumayan kan bikin anget.
Sambil ngangetin badan yang lumayan basah kena hujan dari stasiun ke Malioboro
(plus sepatuku basah ke dalem gegara nginjek genangan air), kami mikir gimana
caranya sampai Solo. Saat itu sudah pukul 8 dan akhirnya kami memutuskan untuk
ke Terminal Jombor, naik bus sampai Solo. Kenapa Jombor? Karena tadi siang kami
sudah datang lewat Giwangan dan If belum pernah ke Jombor, sederhana bukan?
Setelah baterai dirasa cukup, kami jalan kaki dulu menyusuri Malioboro.
Merasakan hawa Yogya yang sudah lama tak ku sambangi. Jalan kaki menyusuri
Malioboro selalu menyenangkan. Setelah capek, kami pesan Grab ke Jombor.
Grab-Gojek-Grab-Gojek, gitu ae. Dalam perjalanan ke Jombor, terjadi percakapan
seputar perjalanan aku dan If ke Yogya dengan mas Grab.
“Setahu saya, Jombor jam 9 malam
sudah tutup deh, Mbak.” Kata Mas
Grab. Aku lihat jam di gawai, sudah setengah sepuluh. Aku lupa kalau tadi
sempat chat temanku yang di Yogya, nanya gimana caranya ke Solo naik bus.
Temenku bilang, aku harus ke Giwangan karena di sana buka 24 jam. Tapi balik
lagi ke alasan sederhana tadi, aku dan If tetap harus ke Jombor.
“Ini kalau bener Jombor udah tutup,
mengingat alasan tadi kenapa Mbak ke Jombor, sumpah ya Mbak adalah orang
tergabut yang pernah saya temui.” Terima kasih, Mas Grab. Ku anggap itu sebuah
pujian.
Dyar! Sampai di Jombor sudah gelap.
Sebenarnya aku tahu sih kalau Jombor tutup jam 9 malam karena dulu sering ke
Yogya naik bus. Tapi aku pura-pura nggak tahu aja. Thank God, mas Grabnya baik.
Kami dianterin sampai ke Jogja City Mall untuk pesen Grab/Gojek/apalah itu.
Untung nggak ditinggal gitu aja di Jombor nan gulita. Di JCM, sedang ada live music. Lumayan, hiburan. Aku dan If
akhirnya pesan Gojek pakai voucher karena
jarak ke Giwangan lumayan jauh.
Sampai Giwangan, pas sekali ada bus
ke Solo yang mau berangkat. Aku hafal dengan bus itu karena beberapa kali naik,
bus Eka. 15ribu dapet air mineral, AC dingin maksimal. Selama perjalanan ke
Solo, ku melemaskan badan yang seharian pecicilan nemplok ke sana-sini. Aku
baru sadar kalau perjalanan kali ini lebih banyak ku habiskan dengan jalan
kaki. Hebat juga aku (bangga sendiri). Kemudian ku tertidur sampai Terminal
Tirtonadi, Solo.
Kami sampai di Tirtonadi sekitar
pukul 2 pagi dan memutuskan untuk segera ke mushola, ketemu sama Tuhan dulu.
Setelah itu langsung menuju Stasiun Balapan. Kereta api, here we go! Sampai di
stasiun, cek loket tiket baru bisa beli pukul 3 pagi, Ya sudah, karena lapar
aku dan If keluar lagi dari stasiun untuk cari makan. Kata If, ada nasi liwet
enak di seberang stasiun. Dan beneran enak, entah karena lapar atau memang
enak. Nggak mahal pula. Menjelang pukul 3, aku dan If balik untuk beli tiket
kereta api. Asli, sebahagia itu rasanya bisa beli tiket kereta api karena yahhh
finally!
Selanjutnya tinggal menuju jam
keberangkatan dan ku habiskan dengan gabut. Mau tidur udah nggak bisa lagi.
Kami sengaja duduk dekat jalur 1 karena memang itu jalur kereta ke Semarang.
Selama gabut itu, aku mengamati orang lalu lalang dan rutinitas dimulai. Orang
pergi bekerja, sekolah, dan ke mana pun. Suka lihatnya. Bagaimana orang lalu
lalang dengan tujuan dan kebutuhan masing-masing. Bagaimana orang datang dan
pergi silih berganti. Menjelang 5.20, kok keretanya nggak dateng-dateng ya?
Padahal biasanya udah nongkrong dengan manis. Eh ternyata pindah jalur hmm.
Jadilah aku dan If lari-larian ke jalur di seberang karena kereta udah mau
berangkat.
Naik kereta api, yashhh!!!!!
Akhirnyaaaaa!!!!! Kesampaian juga keinginanku untuk naik kereta api. Iya,
sebahagia itu. Terima kasih, Yogya. Telah menampung pelarianku atas patah hati
di Semarang. Terima kasih, Solo. Telah membuka jalanku naik kereta api. Terima
kasih, If. Sudah menjadi teman jalanku yang super
fun! Terima kasih, Hati. Sudah mau berbesar untuk menerima kenyataan ini.
Semoga Hati tak jemu untuk mencoba dan merasakan patah lagi. Sebab tidak ada
mencinta tanpa rasa sakit, bukan? Semua hanya perihal sinkronisitas.
Perkara Perjalanan Patah Hati yang
random ini, aku kembali disadarkan bahwa yang istimewa dari sebuah perjalanan
adalah kisah-kisah tak terduga yang hadir di dalamnya. Dan aku tak sabar untuk
segera berjalan lagi. Namun tidak untuk Perjalanan Patah Hati. Perjalanan Jatuh
Cinta, perhaps? Malang? Lombok?
Kiwww!
 |
xoxo, me. |