saya bukan blogger. saya hanya ingin bercerita :)

Sabtu, 16 Maret 2019

Aku dan Retorika dengan Diriku Sendiri


Seiring dengan bertambahnya angka pada usia, aku semakin dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang nggak jarang bikin otak pegal. Quarter life crisis? Jujur aku juga nggak begitu paham sih, gimana dan seperti apa tanda kalau krisis itu hadir.

            Ok balik lagi pertanyaan tadi. Pertanyaan-pertanyaan yang hadir itu nggak jarang berubah menjadi kekhawatiran dan kegalauan. Bahkan terhadap hal yang sebenarnya belum pasti. Misalnya:

“Setelah diwisuda nanti, aku bakal jadi apa?”
“Aku bakal kerja di mana dan bagaimana?”
“Berapa penghasilan yang bisa aku hasilkan setiap bulannya nanti?”
“Bisa nggak ya, benar-benar lepas dari sokongan dana orang tua?”
“Bisa nggak ya, hidup murni dari penghasilan sendiri?”

            Itu baru pertanyaan yang benar-benar melibatkan diri sendiri. Belum lagi pertanyaan yang datang dengan melibatkan orang lain seperti:

“Dari penghasilanku nanti, bisa nggak ya aku gantian transfer uang ke orang tua?”
“Apakah aku harus mulai nabung untuk masa depan? Misalnya beli rumah, kendaraan, dan modal menikah.”

            Dan sederet pertanyaan lainnya yang rasanya nggak bakal habis kalau dituliskan satu persatu. Hei, jangan bilang kalau semua itu masih jauh dari batas kenyataan. Terutama soal nabung untuk masa depan.

            Di usia awal 20 seperti aku mungkin memang baiknya fokus memberi nafkah pada diri sendiri dulu, dibanding harus memikirkan masa depan bersama orang lain. Tapi kalau ku pikir kembali, kalau nggak dimulai dari sekarang ya kapan lagi?

            Namanya juga nabung. Semua diawali dari sedikit demi sedikit. Ok, skip dialektika tentang masa depan. Mari kembali berbicara tentang retorika dengan diri sendiri.

            Nah, usiaku awal 20. Baru saja dinyatakan lulus dari universitas dan sedang menanti diwisuda sebagai peresmian kelulusanku (atau status penggangguranku?) Aku memiliki pekerjaan lepas yang sudah hampir satu tahun aku jalani. Dan tentunya pekerjaan itu nggak bisa aku katakan sebagai sumber penghasilan tetap. Maka aku tetap pada prinsip bahwa saat ini aku hanyalah seorang pengangguran yang bergantung pada sokongan dana orang tua.

            Aku yakin sih, orang tuaku bukan tipe yang langsung lepas tangan begitu saja bahkan ketika aku sudah diwisuda nanti. Thank God, lucky me. Tapi sisi tanggung jawabku terusik. 

Belakangan ini (bahkan sebelum dinyatakan lulus) aku sudah mulai malu saat menerima transferan uang dari orang tua. Malu, karena terus-terusan jadi beban orang tua meski tentu orang tua nggak pernah menganggap anaknya sebagai beban.

Aku sempat ada di titik di mana aku bingung harus menjalani hidup dengan cara yang bagaimana. Aku hanya ingin bertahan hidup atas usahaku sendiri. Tapi ternyata aku belum sanggup. Akhirnya kembali lagi, aku dirundung kekhawatiran atas hidupku sendiri.

Tapi aku nggak mau terpuruk. Otakku yang pegal memikirkan kekhawatiran ini harus berubah memikirkan bagaimana caranya untuk survive.

Kembali aku teringat pada masa-masa peralihan idealis ke realistisku. Saat itu aku menemukan satu konsep baru bahwa: you must know your priorities.

Yap, kita tentu punya skala prioritas dalam hidup kita. Dalam hal apapun. Maka aku akan berusaha untuk menerapkan konsep itu kembali dalam hidupku. Konsep itu aku padankan dengan materi ekonomi sejak SMP: kebutuhan primer, sekunder, tersier.

Misalnya, kalau dulu aku nggak pernah mikir dua kali untuk sekadar nongkrong di kafe dalam intensitas sering, sekarang aku berusaha mengurangi intensitasnya. Atau bahkan menghentikannya sama sekali, kecuali jika benar-benar perlu.

Yap, aku memang hobi nongkrong sejak dulu. Bahkan untuk hal kecil semacam nulis skripsi, menyelesaikan pekerjaan, atau ngobrol bersama teman. Untuk saat ini, lebih baik menyelesaikan pekerjaan di kamar kosan dan ngobrol dengan teman di tempat lain yang nggak kalah nyaman. Setidaknya sampai nanti aku benar-benar bisa menghidupi diriku sendiri.

Kemudian membeli benda-benda penting yang nggak penting. Entah ini naluri atau apa, tapi aku termasuk salah seorang yang sering membeli barang yang nggak penting-penting amat, tapi aku beli karena aku merasa bakal berguna.

Kembali lagi ke konsep primer, sekunder, tersier. Saat ini pun aku sedang berusaha untuk selalu menelaah skala itu sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Wish me luck. Haha!

Oya, juga dalam mengeluarkan uang. Biasanya aku ringan mengeluarkan uang untuk hal-hal sepele dengan dalih, “Ah, cuma segini kok harganya. Aku masih punya pegangan lebih banyak.”

Demi apa pun aku baru sadar kalau “harga yang cuma segini” itu kalau terus menerus dikeluarkan juga akan berubah menjadi nominal yang nggak sedikit.

Pada intinya aku sedang menantang diriku sendiri untuk hidup berdikari. Meski orang tuaku nggak akan lepas tangan, tapi kelihatannya aku sudah mulai tahu diri.

Oya, bagiku konsep skala prioritas dan primer, sekunder, tersier itu juga nggak boleh menyakiti diriku sendiri. Dengan kata lain, boleh hemat asal jangan pelit dengan diri sendiri. Aku nggak akan mau menyiksa diriku sendiri. I love myself!

Aku yakin sih, aku nggak sendirian dalam merasakan hal ini. Dan aku perlu berterima kasih pada diriku sendiri. Kenapa? Karena aku nggak mudah ingin dengan pencapaian orang lain. Sisi masa bodohku ternyata berguna untuk hal ini.

Misalnya, ketika banyak orang yang ingin tutup aku di instagram karena merasa bahwa instagram penuh dengan binar-binar duniawi. Mereka nggak ingin sakit hati lihat gaya hidup orang yang serba ada.

Aku? Bodo amat. I’m happy with my own life. Selagi aku bisa makan kenyang dan tidur pulas, serta tertawa karena hal sepele,  then I’m happy! Persetan dengan gaya hidup orang lain. Kalau dituruti, kemauan manusia mah nggak akan ada habisnya. Gaya hidup akan terus berubah dan bertambah kan?

Nah, aku jadi teringat dengan adagium ini: Hidup itu mudah dan murah, gaya hidupnya saja yang susah dan mahal.

Ok, cukup sudah aku bercerita. Ini bukan seutas sambatan. Aku hanya ingin bercerita dan berbagi. Doakan aku agar istiqomah di jalan ninjaku untuk berdikari ya! Doakan juga agar aku lekas dapat pekerjaan tetap yang bisa bikin aku hidup bahagia untuk diri sendiri dan orang lain.

            See ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar