Seiring
dengan bertambahnya angka pada usia, aku semakin dipenuhi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang nggak jarang bikin otak pegal. Quarter life crisis? Jujur aku juga nggak begitu paham sih, gimana
dan seperti apa tanda kalau krisis itu hadir.
Ok balik lagi pertanyaan tadi. Pertanyaan-pertanyaan
yang hadir itu nggak jarang berubah menjadi kekhawatiran dan kegalauan. Bahkan terhadap
hal yang sebenarnya belum pasti. Misalnya:
“Setelah
diwisuda nanti, aku bakal jadi apa?”
“Aku
bakal kerja di mana dan bagaimana?”
“Berapa
penghasilan yang bisa aku hasilkan setiap bulannya nanti?”
“Bisa
nggak ya, benar-benar lepas dari sokongan dana orang tua?”
“Bisa
nggak ya, hidup murni dari penghasilan sendiri?”
Itu baru pertanyaan yang benar-benar
melibatkan diri sendiri. Belum lagi pertanyaan yang datang dengan melibatkan
orang lain seperti:
“Dari
penghasilanku nanti, bisa nggak ya aku gantian transfer uang ke orang tua?”
“Apakah
aku harus mulai nabung untuk masa depan? Misalnya beli rumah, kendaraan, dan
modal menikah.”
Dan sederet pertanyaan lainnya yang
rasanya nggak bakal habis kalau dituliskan satu persatu. Hei, jangan bilang
kalau semua itu masih jauh dari batas kenyataan. Terutama soal nabung untuk
masa depan.
Di usia awal 20 seperti aku mungkin
memang baiknya fokus memberi nafkah pada diri sendiri dulu, dibanding harus
memikirkan masa depan bersama orang lain. Tapi kalau ku pikir kembali, kalau
nggak dimulai dari sekarang ya kapan lagi?
Namanya juga nabung. Semua diawali
dari sedikit demi sedikit. Ok, skip dialektika
tentang masa depan. Mari kembali berbicara tentang retorika dengan diri
sendiri.
Nah, usiaku awal 20. Baru saja
dinyatakan lulus dari universitas dan sedang menanti diwisuda sebagai peresmian
kelulusanku (atau status penggangguranku?) Aku memiliki pekerjaan lepas yang
sudah hampir satu tahun aku jalani. Dan tentunya pekerjaan itu nggak bisa aku
katakan sebagai sumber penghasilan tetap. Maka aku tetap pada prinsip bahwa
saat ini aku hanyalah seorang pengangguran yang bergantung pada sokongan dana
orang tua.
Aku yakin sih, orang tuaku bukan
tipe yang langsung lepas tangan begitu saja bahkan ketika aku sudah diwisuda
nanti. Thank God, lucky me. Tapi sisi
tanggung jawabku terusik.
Belakangan ini (bahkan sebelum dinyatakan lulus) aku
sudah mulai malu saat menerima transferan uang dari orang tua. Malu, karena
terus-terusan jadi beban orang tua meski tentu orang tua nggak pernah
menganggap anaknya sebagai beban.
Aku sempat ada di titik di mana aku bingung harus
menjalani hidup dengan cara yang bagaimana. Aku hanya ingin bertahan hidup atas
usahaku sendiri. Tapi ternyata aku belum sanggup. Akhirnya kembali lagi, aku
dirundung kekhawatiran atas hidupku sendiri.
Tapi aku nggak mau terpuruk. Otakku yang pegal
memikirkan kekhawatiran ini harus berubah memikirkan bagaimana caranya untuk survive.
Kembali aku teringat pada masa-masa peralihan
idealis ke realistisku. Saat itu aku menemukan satu konsep baru bahwa: you must know your priorities.
Yap, kita tentu punya skala prioritas dalam hidup
kita. Dalam hal apapun. Maka aku akan berusaha untuk menerapkan konsep itu
kembali dalam hidupku. Konsep itu aku padankan dengan materi ekonomi sejak SMP:
kebutuhan primer, sekunder, tersier.
Misalnya, kalau dulu aku nggak pernah mikir dua kali
untuk sekadar nongkrong di kafe dalam intensitas sering, sekarang aku berusaha
mengurangi intensitasnya. Atau bahkan menghentikannya sama sekali, kecuali jika
benar-benar perlu.
Yap, aku memang hobi nongkrong sejak dulu. Bahkan untuk
hal kecil semacam nulis skripsi, menyelesaikan pekerjaan, atau ngobrol bersama
teman. Untuk saat ini, lebih baik menyelesaikan pekerjaan di kamar kosan dan
ngobrol dengan teman di tempat lain yang nggak kalah nyaman. Setidaknya sampai
nanti aku benar-benar bisa menghidupi diriku sendiri.
Kemudian membeli benda-benda penting yang nggak
penting. Entah ini naluri atau apa, tapi aku termasuk salah seorang yang sering
membeli barang yang nggak penting-penting amat, tapi aku beli karena aku merasa
bakal berguna.
Kembali lagi ke konsep primer, sekunder, tersier. Saat
ini pun aku sedang berusaha untuk selalu menelaah skala itu sebelum memutuskan
untuk membeli sesuatu. Wish me luck. Haha!
Oya, juga dalam mengeluarkan uang. Biasanya aku
ringan mengeluarkan uang untuk hal-hal sepele dengan dalih, “Ah, cuma segini
kok harganya. Aku masih punya pegangan lebih banyak.”
Demi apa pun aku baru sadar kalau “harga yang cuma
segini” itu kalau terus menerus dikeluarkan juga akan berubah menjadi nominal
yang nggak sedikit.
Pada intinya aku sedang menantang diriku sendiri
untuk hidup berdikari. Meski orang tuaku nggak akan lepas tangan, tapi kelihatannya
aku sudah mulai tahu diri.
Oya, bagiku konsep skala prioritas dan primer,
sekunder, tersier itu juga nggak boleh menyakiti diriku sendiri. Dengan kata
lain, boleh hemat asal jangan pelit dengan diri sendiri. Aku nggak akan mau
menyiksa diriku sendiri. I love myself!
Aku yakin sih, aku nggak sendirian dalam merasakan
hal ini. Dan aku perlu berterima kasih pada diriku sendiri. Kenapa? Karena aku
nggak mudah ingin dengan pencapaian orang lain. Sisi masa bodohku ternyata
berguna untuk hal ini.
Misalnya, ketika banyak orang yang ingin tutup aku
di instagram karena merasa bahwa instagram penuh dengan binar-binar duniawi. Mereka
nggak ingin sakit hati lihat gaya hidup orang yang serba ada.
Aku? Bodo amat. I’m
happy with my own life. Selagi aku bisa makan kenyang dan tidur pulas,
serta tertawa karena hal sepele, then I’m happy! Persetan dengan gaya
hidup orang lain. Kalau dituruti, kemauan manusia mah nggak akan ada habisnya. Gaya hidup akan terus berubah dan bertambah kan?
Nah, aku jadi teringat dengan adagium ini: Hidup itu
mudah dan murah, gaya hidupnya saja yang susah dan mahal.
Ok, cukup sudah aku bercerita. Ini bukan seutas sambatan. Aku hanya ingin bercerita dan
berbagi. Doakan aku agar istiqomah di jalan ninjaku untuk berdikari ya! Doakan juga
agar aku lekas dapat pekerjaan tetap yang bisa bikin aku hidup bahagia untuk
diri sendiri dan orang lain.
See ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar