Waktu itu
selepas bimbingan skripsi, aku pulang dengan pikiran cengo. Yah namanya juga
habis bimbingan, micin-micin yang memengaruhi kerja otak mulai bereaksi secara
aktif. Di tengah kecengoanku, kok baru sadar kalau gusi bagian pojok kiri
belakang tuh nyeri-nyeri sedap gitu. Seumur-umur yang namanya sakit gigi cuma
pernah aku rasain sepanjang pakai behel. Kalau kelen pernah atau sedang pakai
behel, pasti paham kan kekmana rasanya saat kawat itu diketatkan supaya
gigi menjadi rata nan aduhai?
Ok,
kenapa pulak lah ini gusi nyeri? Perasaan aku nggak sering makan ciki atau
gulali dan alhamdulillah rajin gosok gigi. Untungnya aku bisa berpikir di
tengah kecengoanku.
“Aha!
Jangan-jangan ini gigi bungsu!” Begitulah pikirku. Tapi kekmana ya caranya
memastikan kalau ini benar-benar si bungsu? Kalau dipikir-pikir, memang sudah
waktunya gigi bungsuku tumbuh sih. Secara umurku saat itu sudah 21 menjelang
22. Sudah hampir matang pohon. Oleh karena aku pintar, aku mengira-ngira ada
nggak tanda-tanda gigi yang mau tumbuh di gusi itu memakai lidah dan telunjuk.
Ehehehe jorok maapin. Tapi waktu itu aku nggak habis ngupil atau garuk kaki
kok.
Benar
dan nyata adanya, sahabat baikku. Nyeri di gusi itu disebabkan oleh gigi bungsu yang
berusaha menyeruak keluar. Waktu itu aku lalu beli jus mangga super dingin. Nah
pas minum, aku sengaja aja diemin lama di bagian gigi bungsu itu. Hamdalah,
nyerinya hilang. Sungguh aku bangga pada diriku sendiri.
Nggak
berhenti sampai di situ, kira-kira dua minggu setelahnya giliran gusi bagian
kanan. Kali itu lebih sakit dan kadang sampai bikin migrain. Nyerinya itu
benar-benar nyalur sampai belakang telinga dan kepala. Sejauh yang aku tahu,
gigi itu memang nyambung ke syaraf-syaraf itu kepala kan ya? Rasa sakit gegara
gigi bungsu itu aku rasain sampai kira-kira sebulanan. Tapi hilang dan timbul macam perasaan. Sampai akhirnya aku
nggak tahan dan periksa ke dokter gigi. Oya, oleh karena aku rajin dan gabut,
sebelumnya aku udah browsing-browsing tuh kekmana sih gigi bungsu, kekmana
pengaruhnya, kekmana tindakannya. Dan ternyata kebanyakan berujung pada
operasi. Wadidaw, perkara gigi aja bisa operasi?
Ok,
aku periksa ke Klinik Nadira yang paling dekat dengan kontrakan waktu itu. Oleh dokternya yang amat mirip dengan
ketua jurusanku di kampus (sumpah aku sempat mikir, ini ketua jurusanku apakah double job menjadi dokter gigi?) gigiku
diperiksa dan dia bilang itu memang gigi bungsu yang mau keluar tapi tak
berdaya. Biar lebih jelas, dia sarankan aku untuk rontgen. Biaya periksa dokter waktu itu kalau nggak salah seratus
ribuan, plus biaya daftar pasien. Aku juga dikasih resep obat buat antibiotik
dan pereda nyeri yang harus ditebus di apotek.
Dokter
menyarankan agar aku rontgen di RS
Hermina karena jaraknya paling dekat dan tepercaya. Oleh karena aku sok ngide,
besoknya aku malah ke Prodia tuh. Alasannya karena lebih simpel aja aku mikirnya.
Eh ternyata di Prodia nggak bisa rontgen gigi.
Hehe. Yaudah aku tetap ke RS Hermina tuh. Dasar bandal. Prosesnya gampang dan
nggak lama sih. Daftar ke bagian radiologi, terus karena nggak ada antrean jadi
langsung rontgen. Habis itu bayar di
kasir Rp 259 ribu kalo nggak salah. Kalau salah ya maafin to. Oya hasil rontgen bisa ditunggu tuh, nggak sampai
15 menit. Wadidaw, ternyata gigi bungsuku dua-duanya tumbuhnya nggak bagus.
Kurang ruangan buat tumbuh gitu, kasyaan. Mana yang satu tumbuhnya melintang
pula, pantas aja sakitnya nauzubillah.
Oya
hampir lupa, obat yang semalam diresepin sama dokter dan aku tebus tuh kan udah
aku minum ya. Dasar ada aja dramanya, ternyata aku alergi sama obat itu. Jadi
sekujur badan gatal dan memerah. Hampir mirip biduran. Oh Tuhanku dari perkara
gigi sampai gatal-gatal. Sungguh kisahku sangat super. Harusnya malamnya aku
periksa lagi ke dokter sambil bawa hasil rontgen.
Yaudah sekalian aja aku konsul soal obat itu kan. Eh ternyata dokternya
cuti. Pulanglah anak rajin ini dengan hati yang hampa dan badan yang
gatal-gatal. Sempat minum susu beruang untuk netralisir tapi tetap aja gatalnya
nggak reda dan malah makin menjalar ke mana-mana. Bentol-bentol gatalnya tuh
bikin geli sendiri rasanya. Oleh teman kontrakan yang baik hati aku dibelikan
obat anti alergi dan air kelapa hijau. Obat alerginya beli di Kimia Farma dan
bikin pengin nangis karena 6 biji harganya Rp 60 ribu. Yang lebih bikin pengin
nangis, gatalnya akhirnya agak reda justru karena aku minum air kelapa hijau
dua porsi.
Akhirnya
aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirku sekalian aja periksa dan kelarin
masalah gigi bungsu di rumah. Kalau pun memang harus operasi, kan lebih nyaman
di tengah keluarga plus karena pakai BPJS. Di rumah, aku fokus sembuhin gatal-gatal
perkara alergi obat dulu tuh. Agak lama sih karena emang nggak mau ke dokter.
Setelah sembuh, aku ke dokter gigi untuk periksa. Udah agak lama antre mau
daftar, sampai di resepsionis mbaknya bilang kalau gigi bungsuku emang harus
dioperasi jadi lebih baik langsung ke rumah sakit aja. Yaila, operasi. Kok
serem ya dengernya. Nggak cuma itu, oleh karena mbaknya baik jadi aku tahu
pulak kalau ternyata kartu BPJSku mati. Aku baru tahu kalau BPJS itu otomatis
nonaktif saat umur 21 dan 25 (BPJS yang dari kantor ya). Karena statusku masih
mahasiswa yang sedang berjuang untuk lulus agar tak terus menjadi penyumbang
dana kampus, jadi untuk memperpanjang BPJS aku harus minta surat keterangan
aktif kuliah. Ok, harus balik Semarang lagi.
Proses
minta surat keterangan aktif kuliahku lumayan lama karena aku beberapa kali
harus revisi surat. Begonya diriku, revisinya tuh hal-hal penting nggak penting
semacam “logo kampusnya kegendutan” dan “kop suratnya nggak simetris”. Nyaris
lima tahun kuliah sastra ngapain ajaaaaa. Setelah urusan surat kelar, itu surat
langsung aku scan dan kirim ke bapake
supaya bisa diurus admin kantornya. Jadi pas nanti aku balik ke rumah, BPJS udah aktif
lagi dan siap operasi.
Ok,
sampai pada akhirnya aku pulang ke rumah lagi dan memang udah siapin mental
plus fisik buat operasi. Buat kelen yang mungkin bakal ngalamin operasi gigi
bungsu juga, ini aku ceritain kekmana alurnya ya. Kalau mau disimak syukur,
kalau nggak yaudah lain kali aja siapa tau cocok yakan.
Karena
aku pakai BPJS, lebih dulu aku minta surat rujukan ke dokter faskes tingkat I.
Dirujuk ke rumah sakit dan dokter spesialis bedah mulut. Kemarin itu aku milih
di RSI Wonosobo. Nah setelah pegang surat rujukan, kelen datang tuh ke rumah
sakit. Karena sebelumnya aku pernah opname di RSI, jadi daftarnya ke loket
pasien lama. Setelah itu antre ke klinik spesialis bedah mulut, kebetulan di
Wonosobo itu klinik tergolong baru. Dokternya baik banget dan ramah, namanya
Dokter Anik. Gimana ya, selama diperiksa sama dia tuh hawanya adem aja gitu.
Jadi pas Dokter Anik jelasin soal operasi aku ngerasa yakin dan percaya aja
karena nanti dia sendiri yang bakal nanganin.
Waktu
itu hari Kamis dan Dokter Anik sekalian buatin aku jadwal operasi hari Selasa
karena Jumat dan Senin dia sudah penuh jadwal operasinya. Oleh asisten Dokter
Anik, aku disarankan untuk pesan kamar dulu biar pas Selasa nggak perlu nunggu
dapat kamar lagi. Oya, aku juga disuruh untuk rontgen paru-paru tuh. Yaudah setelah kelar periksa dokter, aku rontgen paru-paru dan pesan kamar.
Ini
cerita soal rontgen paru-paru ya.
Jadi aku disuruh ganti baju pakai baju khusus gitu dan lepas semua pakaian
termasuk pakaian dalam. Agak risih juga sih karena petugas rontgennya tuh cowok. Nah proses rontgennya tuh dada disuruh nempel dan nekan ke alat gitu sambil
berdiri dan nggak sampai 5 detik petugasnya bilang, “Ok udah selesai.” Hasil rontgen diambil saat hari H operasi.
Setelah urusan rontgen dan pesan
kamar beres, aku pulang dengan bahagia. Kenapa? Ya pokoknya kan aku anaknya
gampang bahagia. Hehe maksa.
Ok,
langsung ke hari operasi. Aku disuruh untuk datang ke rumah sakit pukul 7 pagi
dan langsung ke ruang IGD. Sebelum itu, aku harus udah sarapan dan maksimal
terakhir makan dan minum pukul 7 juga. Yap, menjelang operasi orang-orang wajib
disuruh puasa kan. Aku ke rumah sakit ditemani ibukku yang cantik karena
bapakku harus ke kantor agar bisa jajanin aku dan adikku sekolah agar menjadi
pintar. Aku rasa pagi itu aku adalah orang tersiap untuk masuk IGD. Ya iyalah,
jalan kaki dari parkiran dengan santai sambil bawa tas berisi perlengkapan
opname menuju IGD. Sampai di IGD, aku disuruh untuk langsung menuju salah satu
bilik sementara ibukku ke loket BPJS untuk ngurus administrasi. Di IGD aku
gabut, akhirnya aku ke kamar mandi. Nggak nyambung ya? Biarin. Pas balik dari
kamar mandi, perawat udah siap untuk pasang infus ke aku. Tapi aku disuruh
pindah bilik karena pasien di bilik sebelahku meninggal dunia dan perawatnya
khawatir aku takut. Ternyata bilik tempat aku pindah tuh bilik buat ibu
melahirkan. Jadilah aku tiduran di kasur melahirkan dan di samping ada
inkubator bayi.
Perawat
siap-siap pasang infus ke aku. Itu bukan yang pertama kali sih. Tapi
subhanallah rasanya kali itu lebih sakit. Perawatnya bilang, jarum infus yang
dipakai untuk pasien operasi memang lebih besar jadi wajar kalau rasanya lebih
sakit. Yaudah nggak apa-apa, udah biasa disakitin. Oya, aku sempat request ke perawatnya buat pasang infus
di tangan kiriku aja karena biasanya aku dipasangin infus di kiri. Tapi
perawatnya bilang nadiku lebih nyata di tangan kanan. Yah, pergerakan terbatas
nih. Infus udah terpasang, aku siap-siap buat dipindah ke ruangan. Karena
sebelumnya udah pesan kamar jadi nggak perlu tunggu lama. Aku naik kursi roda
didorong sama mas-mas perawat menuju kamar. Rasanya agak aneh ya, kondisi fisik
sehat tapi dipasangin infus dan didorong pakai kursi roda. Oya, aku dapat kamar
yang paling dekat dengan ruang operasi ternyata. Kamarnya mungil tapi komplet
dan overall nyaman.
Jadwal
operasiku pukul 2 siang dan selama nunggu itu aku lapar hmm. Untung kebantu
infus. Selama nunggu aku cuma nonton tv sambil main hp. Oh, ngobrol sama ibuk
juga deng. Sayangnya tv di kamar tempatku menginap nggak ada kanal Global TV,
jadi nggak bisa nonton Spongebob. Untung masih bisa nonton Upin Ipin. Sekitar
pukul 12 bapak dan adikku nyusul ke rumah sakit. Hm, keluarga emang support system numero uno sih. Oya, aku
sempat disuntik antibiotik tuh. Karena tragedi alergi antibiotik kemarin, aku
dicek dulu alergi sama antibiotik yang mau disuntikin atau nggak. Caranya
dengan disuntikin ke bawah kulit dan itu sakitnya nauzubillah. Setelah ternyata
nggak alergi, baru deh antibiotik disuntikin lewat infus.
Dari
pukul 2 siang, jadwal operasiku diundur ke pukul 4 sore karena Dokter Anik ada
rapat dulu. Duh, deg-degannya makin lama nih. Pukul 3 sore, perawat datang
bawain sabun antiseptik dan obat kumur. Aku disuruh mandi sampai benar-benar
bersih dan kumur pakai itu obat. Oya, disuruh ganti baju juga pakai baju
operasi. Bajunya lucu kayak baby doll dan
warnanya biru kesukaanku. Ehehehehe. Perawat juga bawain penutup rambut kek shower cap gitu tapi nanti aja ah
dipakainya pas mau masuk ruang operasi. Pukul 3.30 sore, ada karyawan rumah
sakit yang datang ke kamar dan kek ngasih wejangan gitu. Dia juga ngajak aku
sekeluarga buat doa bersama menjelang operasiku, plus ingetin buat solat dulu
sebelum masuk ruang operasi. Asli rasanya tuh trenyuh banget pas kami
sekeluarga dipimpin doa bersama. Pengin nangis, tapi aku sok kuat. Di tengah
aku nunduk karena berdoa, aku sepintas baca id
card karyawan itu. “Staff kerohanian dan instalasi pemulasaran jenazah”,
gitu tulisannya. Tapi yang terbaca olehku cuma: staff pemulasaran jenazah. Oh
Tuhanku, merinding.
Aku
nggak tahu operasi gigi bungsu itu termasuk operasi besar apa nggak. Tapi yang
jelas nanti aku bakal dibius total dan jujur ketakutan terbesarku sejak awal
adalah aku nggak akan bangun lagi. Hehe.
Pukul
4, perawat datang dan bilang, “Sekarang ya.” Deg. Datang juga nih waktu. Aku
ngelihat muka keluargaku tegang semua tapi tetap berusaha biasa aja untuk support aku. Setelah pakai penutup
kepala dan benerin baju operasi, aku didorong pakai ranjang yang aku tidurin
itu menuju ruang operasi. Oya, segala aksesoris harus dilepas tuh termasuk ikat
rambut, perhiasan, gitu-gitu deh. Bahkan kalau saat itu aku pakai kutek pun
harus dihapus dulu. Sebelum masuk ruang operasi, satu persatu keluarga
menciumku dan menyemangati. Mwah, gitu.
Sepanjang
didorong ke ruang operasi, aku dilihatin orang-orang di koridor. Ih, malu tahu.
Di ruang operasi, aku ganti pakai kursi roda dan didorong lagi ke salah satu
ruangan. Petugas yang bawa aku (aku nggak tahu dia perawat atau dokter) lucu
banget dan sengaja bercanda buat cairin suasana biar aku nggak tegang. Sampai di ruangan, aku
tiduran tuh di kasur operasi. Oh gini toh rasanya masuk ruang operasi. Aku
dipasangin pendeteksi detak jantung di ibu jari kanan dan pendeteksi tekanan darah di lengan kiri. Jadi detak jantungku
bisa dilihat pakai alat yang kek di film-film. Aku iseng dong coba tahan napas
karena pengin tahu garisnya bakal kekmana, tetap naik turun atau lurus gitu. Hehe.
Seluruh
petugas di ruangan itu ramah dan sengaja ngelucu buat cairin suasana. Waktu itu
masih nunggu dokter anestesi jadi kan aku deg-degan ya. Mana itu ruangan dingin
banget dan aku kebelet pipis. Ih tapi kan udah dipasangin alat-alat, masa mau
pipis. Pukul 4.30 sore dokter anestesinya datang. Dia jelasin proses bius yang
bakal dikasih ke aku. Intinya selain bius yang disuntikin, nanti aku bakal
dikasih bius berupa gas gitu. Caranya dikasih pakai selang yang dimasukin lewat
hidung sampai ke tenggorokan. Dokternya bilang kalau itu bakal kasih efek sakit
di tenggorokan setelah aku sadar, jadi aku harus sabar katanya. Oya, saat itu
Dokter Anik juga udah datang ke ruangan. Deg-degan aku makin menjadi, yaudah
aku baca-baca doa aja tapi bukan doa makan atau doa bangun tidur kok. Saat bius
disuntikin ke aku, hal terakhir yang aku ingat adalah dokter anestesi
membacakan doa padaku dan bayi di ruang operasi seberang baru aja lahir.
Aku
kebangun di ruang opname sekitar pukul 8 malam. Itu pun karena sengaja
dibangunkan oleh ibuk dan perawat. Pengaruh obat bius belum hilang dari tubuhku
sehingga aku rasanya masih ngantuk banget. Samar-samar aku dengar perawat
bilang kalau aku harus dipaksa untuk sadar, minimal ada respon kek mata yang
bergerak ketika diajak bicara. Kalau dibiarkan tidur dan nggak dibangunin,
perawatnya bilang bisa-bisa aku tidur terus alias koma. Wididaw ngeri juga.
Jadi di tengah ketidakberdayaanku, aku tetap berusaha setrongggg dan maksa diri buat respon. Berkali-kali aku dengar ibuk
dan perawat manggil-manggil aku buat bikin aku terjaga. Tapi badanku lemes
banget, aku cuma bisa respon lewat gerakan mata. Kondisinya saat itu bekas gigi
yang udah dioperasi kek disumpal gitu pakai kassa dan diplester. Karena
darahnya udah penuh, perawat bilang kalau dia mau ngelepas itu kassa. Yaudahlah
mbak lepas aja, aku tak berdaya pun.
Kemudian
datang perawat yang lain, seorang mas-mas, untuk memeriksa kadar oksigen dalam
darahku. Katanya sih kurang, jadilah aku dipasangin selang oksigen di hidung. Oh gini toh
rasanya pakai selang oksigen. Aku juga dicek tekanan darahnya dan sempat drop
banget. Pokoknya selama pra dan pasca operasi, tekanan darahku naik turun.
Setelah sekian lama aku dipaksa untuk terjaga, akhirnya aku boleh tidur. Aku
kebangun besok paginya dengan kondisi bius yang udah hilang dan bekas jahitan
operasi mulai cenut-cenut kek lagunya Smash. Jadi selain bagian gigi yang
dicabut, bagian dalam pipiku juga dijahit entah kenapa. Lucunya, yang berasa
nyeri tuh jahitan di pipi, bukannya bekas gigi yang dicabut. Oya, aku juga udah
boleh makan tuh. Makannya susu tinggi protein. Ya iyalah masa makan daging
wagyu. Hehe. Mahal tahu.
Siangnya
aku dapat menu makanan bubur sumsum, sengaja buat nyoba gitu katanya. Ih buat
anak kok coba-coba. Rasanya sakit banget padahal bubur sumsum yang ibaratnya
tinggal telan. Aku request ke bagian
konsumsi (yailaa konsumsi, dikira acara himpunan) kalau makan malam aku mau
susu lagi aja karena diminum pakai sedotan jadi lebih nyaman dikonsumsi olehku.
Waktu itu aku belum bisa ngomong lancar, buka mulut pun dikit-dikit jadi berasa
jadi pendiam aku tu.
Sorenya,
Dokter Anik datang untuk cek kondisiku. Katanya aku harus coba makan mulai dari
bubur halus, bubur kasar, sampai nasi secara bertahap. Nggak boleh makanan cair
terus biar gigi dan mulut terbiasa. Aku juga udah boleh pulang malamnya karena
tekanan darah udah normal, oksigen juga udah aman. Yayy pulang!
Sebelum
pulang, aku minta suntikan pereda nyeri lagi karena rasanya tuh sakit banget
kek ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Perawat datang untuk suntikin pereda
nyeri lewat infus dan rasanya tuh rada sakit pas cairannya terasa ngalir di
peredaran darah. Setelah cairan pereda nyeri masuk semua, perawat sekalian
cabut infusku. Aku siap-siap pulang dan sempat mandi dulu tuh di rumah sakit
plus nyobain gosok gigi dengan super hati-hati.
Ok,
sekarang cerita pasca operasi. Selama pasca operasi, aku makan bubur bayi dicampur
milo hasil kreasi ibukku yang cantik. Ibukku juga bikinin bubur sumsum tuh buat
latihan makan yang lebih berat. Obat yang harus aku minum ada tiga dan setiap
harinya aku harus pakai obat kumur tiga kali. Aku belum boleh mengendarai
kendaraan sendiri selama dua minggu ke depan. Seminggu setelah operasi aku pun
harus kontrol ke dokter. Oya, jahitan operasiku tuh benangnya yang nggak harus
dilepas jadi bisa nyatu gitu nantinya.
Apa
yang aku rasain pasca operasi? Jujur, setiap bangun pagi rasanya kepalaku sakit
banget. Jadi setiap bangun pagi, aku cuma bisa diam sambil nunggu sakitnya agak
reda selama lebih kurang lima belas menit sebelum akhirnya bisa bangkit dari
kasur. Badanku juga masih mudah lemas. Oya, entah ini pengaruh operasi atau
emang dasar bawaan, tapi aku jadi gampang skip. Jadi kadang aku bisa tiba-tiba
diam dan lemot gitu. Eh, apa emang sebenarnya aku bego ya?
Yah
gitu deh lebih kurang cerita aku dan gigi bungsuku. Overall, operasi gigi bungsu tidak menakutkan meski mungkin ada
bagian-bagian dalam ceritaku ini yang menakutkan. Jadi buat kelen yang sedang
atau nanti mengalami kisah gigi bungsu yang sama denganku, tenang dan
beranilah! Gigi bungsu yang tumbuhnya nggak bagus memang lebih baik dicabut aja
karena bisa bawa pengaruh jelek buat jangka panjang.
Oya,
kalau mau tahu soal biaya total operasi gigi bungsu buat persiapan, kemarin itu
aku ngintip bill yang ditebus orang
tuaku. Totalnya lebih kurang Rp 7 juta sekian. Itu karena aku naik kelas sih
fasilitasnya. Karena aku pakai BPJS, jadi orang tuaku hanya membayar sisa biaya
naik kelasnya. Diam-diam aku ngerasa bersalah deng karena ngabisin banyak
biaya.
Ok,
itu tadi cerita gigi bungsuku. Selamat menikmati cerita kelen bersama gigi
bungsu masing-masing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar