saya bukan blogger. saya hanya ingin bercerita :)

Sabtu, 22 Desember 2018

Gigi Bungsu dan Operasi Pertamaku


Waktu itu selepas bimbingan skripsi, aku pulang dengan pikiran cengo. Yah namanya juga habis bimbingan, micin-micin yang memengaruhi kerja otak mulai bereaksi secara aktif. Di tengah kecengoanku, kok baru sadar kalau gusi bagian pojok kiri belakang tuh nyeri-nyeri sedap gitu. Seumur-umur yang namanya sakit gigi cuma pernah aku rasain sepanjang pakai behel. Kalau kelen pernah atau sedang pakai behel, pasti paham kan kekmana rasanya saat kawat itu diketatkan supaya gigi  menjadi rata nan aduhai?
Ok, kenapa pulak lah ini gusi nyeri? Perasaan aku nggak sering makan ciki atau gulali dan alhamdulillah rajin gosok gigi. Untungnya aku bisa berpikir di tengah kecengoanku.
“Aha! Jangan-jangan ini gigi bungsu!” Begitulah pikirku. Tapi kekmana ya caranya memastikan kalau ini benar-benar si bungsu? Kalau dipikir-pikir, memang sudah waktunya gigi bungsuku tumbuh sih. Secara umurku saat itu sudah 21 menjelang 22. Sudah hampir matang pohon. Oleh karena aku pintar, aku mengira-ngira ada nggak tanda-tanda gigi yang mau tumbuh di gusi itu memakai lidah dan telunjuk. Ehehehe jorok maapin. Tapi waktu itu aku nggak habis ngupil atau garuk kaki kok.
Benar dan nyata adanya, sahabat baikku. Nyeri di gusi itu disebabkan oleh gigi bungsu yang berusaha menyeruak keluar. Waktu itu aku lalu beli jus mangga super dingin. Nah pas minum, aku sengaja aja diemin lama di bagian gigi bungsu itu. Hamdalah, nyerinya hilang. Sungguh aku bangga pada diriku sendiri.
Nggak berhenti sampai di situ, kira-kira dua minggu setelahnya giliran gusi bagian kanan. Kali itu lebih sakit dan kadang sampai bikin migrain. Nyerinya itu benar-benar nyalur sampai belakang telinga dan kepala. Sejauh yang aku tahu, gigi itu memang nyambung ke syaraf-syaraf itu kepala kan ya? Rasa sakit gegara gigi bungsu itu aku rasain sampai kira-kira sebulanan. Tapi hilang dan timbul macam perasaan. Sampai akhirnya aku nggak tahan dan periksa ke dokter gigi. Oya, oleh karena aku rajin dan gabut, sebelumnya aku udah browsing-browsing tuh kekmana sih gigi bungsu, kekmana pengaruhnya, kekmana tindakannya. Dan ternyata kebanyakan berujung pada operasi. Wadidaw, perkara gigi aja bisa operasi?
Ok, aku periksa ke Klinik Nadira yang paling dekat dengan kontrakan waktu itu. Oleh dokternya yang amat mirip dengan ketua jurusanku di kampus (sumpah aku sempat mikir, ini ketua jurusanku apakah double job menjadi dokter gigi?) gigiku diperiksa dan dia bilang itu memang gigi bungsu yang mau keluar tapi tak berdaya. Biar lebih jelas, dia sarankan aku untuk rontgen. Biaya periksa dokter waktu itu kalau nggak salah seratus ribuan, plus biaya daftar pasien. Aku juga dikasih resep obat buat antibiotik dan pereda nyeri yang harus ditebus di apotek.
Dokter menyarankan agar aku rontgen di RS Hermina karena jaraknya paling dekat dan tepercaya. Oleh karena aku sok ngide, besoknya aku malah ke Prodia tuh. Alasannya karena lebih simpel aja aku mikirnya. Eh ternyata di Prodia nggak bisa rontgen gigi. Hehe. Yaudah aku tetap ke RS Hermina tuh. Dasar bandal. Prosesnya gampang dan nggak lama sih. Daftar ke bagian radiologi, terus karena nggak ada antrean jadi langsung rontgen. Habis itu bayar di kasir Rp 259 ribu kalo nggak salah. Kalau salah ya maafin to. Oya hasil rontgen bisa ditunggu tuh, nggak sampai 15 menit. Wadidaw, ternyata gigi bungsuku dua-duanya tumbuhnya nggak bagus. Kurang ruangan buat tumbuh gitu, kasyaan. Mana yang satu tumbuhnya melintang pula, pantas aja sakitnya nauzubillah.
Oya hampir lupa, obat yang semalam diresepin sama dokter dan aku tebus tuh kan udah aku minum ya. Dasar ada aja dramanya, ternyata aku alergi sama obat itu. Jadi sekujur badan gatal dan memerah. Hampir mirip biduran. Oh Tuhanku dari perkara gigi sampai gatal-gatal. Sungguh kisahku sangat super. Harusnya malamnya aku periksa lagi ke dokter sambil bawa hasil rontgen. Yaudah sekalian aja aku konsul soal obat itu kan. Eh ternyata dokternya cuti. Pulanglah anak rajin ini dengan hati yang hampa dan badan yang gatal-gatal. Sempat minum susu beruang untuk netralisir tapi tetap aja gatalnya nggak reda dan malah makin menjalar ke mana-mana. Bentol-bentol gatalnya tuh bikin geli sendiri rasanya. Oleh teman kontrakan yang baik hati aku dibelikan obat anti alergi dan air kelapa hijau. Obat alerginya beli di Kimia Farma dan bikin pengin nangis karena 6 biji harganya Rp 60 ribu. Yang lebih bikin pengin nangis, gatalnya akhirnya agak reda justru karena aku minum air kelapa hijau dua porsi.
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirku sekalian aja periksa dan kelarin masalah gigi bungsu di rumah. Kalau pun memang harus operasi, kan lebih nyaman di tengah keluarga plus karena pakai BPJS. Di rumah, aku fokus sembuhin gatal-gatal perkara alergi obat dulu tuh. Agak lama sih karena emang nggak mau ke dokter. Setelah sembuh, aku ke dokter gigi untuk periksa. Udah agak lama antre mau daftar, sampai di resepsionis mbaknya bilang kalau gigi bungsuku emang harus dioperasi jadi lebih baik langsung ke rumah sakit aja. Yaila, operasi. Kok serem ya dengernya. Nggak cuma itu, oleh karena mbaknya baik jadi aku tahu pulak kalau ternyata kartu BPJSku mati. Aku baru tahu kalau BPJS itu otomatis nonaktif saat umur 21 dan 25 (BPJS yang dari kantor ya). Karena statusku masih mahasiswa yang sedang berjuang untuk lulus agar tak terus menjadi penyumbang dana kampus, jadi untuk memperpanjang BPJS aku harus minta surat keterangan aktif kuliah. Ok, harus balik Semarang lagi.
Proses minta surat keterangan aktif kuliahku lumayan lama karena aku beberapa kali harus revisi surat. Begonya diriku, revisinya tuh hal-hal penting nggak penting semacam “logo kampusnya kegendutan” dan “kop suratnya nggak simetris”. Nyaris lima tahun kuliah sastra ngapain ajaaaaa. Setelah urusan surat kelar, itu surat langsung aku scan dan kirim ke bapake supaya bisa diurus admin kantornya. Jadi pas nanti aku balik ke rumah, BPJS udah aktif lagi dan siap operasi.
Ok, sampai pada akhirnya aku pulang ke rumah lagi dan memang udah siapin mental plus fisik buat operasi. Buat kelen yang mungkin bakal ngalamin operasi gigi bungsu juga, ini aku ceritain kekmana alurnya ya. Kalau mau disimak syukur, kalau nggak yaudah lain kali aja siapa tau cocok yakan.
Karena aku pakai BPJS, lebih dulu aku minta surat rujukan ke dokter faskes tingkat I. Dirujuk ke rumah sakit dan dokter spesialis bedah mulut. Kemarin itu aku milih di RSI Wonosobo. Nah setelah pegang surat rujukan, kelen datang tuh ke rumah sakit. Karena sebelumnya aku pernah opname di RSI, jadi daftarnya ke loket pasien lama. Setelah itu antre ke klinik spesialis bedah mulut, kebetulan di Wonosobo itu klinik tergolong baru. Dokternya baik banget dan ramah, namanya Dokter Anik. Gimana ya, selama diperiksa sama dia tuh hawanya adem aja gitu. Jadi pas Dokter Anik jelasin soal operasi aku ngerasa yakin dan percaya aja karena nanti dia sendiri yang bakal nanganin.
Waktu itu hari Kamis dan Dokter Anik sekalian buatin aku jadwal operasi hari Selasa karena Jumat dan Senin dia sudah penuh jadwal operasinya. Oleh asisten Dokter Anik, aku disarankan untuk pesan kamar dulu biar pas Selasa nggak perlu nunggu dapat kamar lagi. Oya, aku juga disuruh untuk rontgen paru-paru tuh. Yaudah setelah kelar periksa dokter, aku rontgen paru-paru dan pesan kamar.
Ini cerita soal rontgen paru-paru ya. Jadi aku disuruh ganti baju pakai baju khusus gitu dan lepas semua pakaian termasuk pakaian dalam. Agak risih juga sih karena petugas rontgennya tuh cowok. Nah proses rontgennya tuh dada disuruh nempel dan nekan ke alat gitu sambil berdiri dan nggak sampai 5 detik petugasnya bilang, “Ok udah selesai.” Hasil rontgen diambil saat hari H operasi. Setelah urusan rontgen dan pesan kamar beres, aku pulang dengan bahagia. Kenapa? Ya pokoknya kan aku anaknya gampang bahagia. Hehe maksa.
Ok, langsung ke hari operasi. Aku disuruh untuk datang ke rumah sakit pukul 7 pagi dan langsung ke ruang IGD. Sebelum itu, aku harus udah sarapan dan maksimal terakhir makan dan minum pukul 7 juga. Yap, menjelang operasi orang-orang wajib disuruh puasa kan. Aku ke rumah sakit ditemani ibukku yang cantik karena bapakku harus ke kantor agar bisa jajanin aku dan adikku sekolah agar menjadi pintar. Aku rasa pagi itu aku adalah orang tersiap untuk masuk IGD. Ya iyalah, jalan kaki dari parkiran dengan santai sambil bawa tas berisi perlengkapan opname menuju IGD. Sampai di IGD, aku disuruh untuk langsung menuju salah satu bilik sementara ibukku ke loket BPJS untuk ngurus administrasi. Di IGD aku gabut, akhirnya aku ke kamar mandi. Nggak nyambung ya? Biarin. Pas balik dari kamar mandi, perawat udah siap untuk pasang infus ke aku. Tapi aku disuruh pindah bilik karena pasien di bilik sebelahku meninggal dunia dan perawatnya khawatir aku takut. Ternyata bilik tempat aku pindah tuh bilik buat ibu melahirkan. Jadilah aku tiduran di kasur melahirkan dan di samping ada inkubator bayi.
Perawat siap-siap pasang infus ke aku. Itu bukan yang pertama kali sih. Tapi subhanallah rasanya kali itu lebih sakit. Perawatnya bilang, jarum infus yang dipakai untuk pasien operasi memang lebih besar jadi wajar kalau rasanya lebih sakit. Yaudah nggak apa-apa, udah biasa disakitin. Oya, aku sempat request ke perawatnya buat pasang infus di tangan kiriku aja karena biasanya aku dipasangin infus di kiri. Tapi perawatnya bilang nadiku lebih nyata di tangan kanan. Yah, pergerakan terbatas nih. Infus udah terpasang, aku siap-siap buat dipindah ke ruangan. Karena sebelumnya udah pesan kamar jadi nggak perlu tunggu lama. Aku naik kursi roda didorong sama mas-mas perawat menuju kamar. Rasanya agak aneh ya, kondisi fisik sehat tapi dipasangin infus dan didorong pakai kursi roda. Oya, aku dapat kamar yang paling dekat dengan ruang operasi ternyata. Kamarnya mungil tapi komplet dan overall nyaman.
Jadwal operasiku pukul 2 siang dan selama nunggu itu aku lapar hmm. Untung kebantu infus. Selama nunggu aku cuma nonton tv sambil main hp. Oh, ngobrol sama ibuk juga deng. Sayangnya tv di kamar tempatku menginap nggak ada kanal Global TV, jadi nggak bisa nonton Spongebob. Untung masih bisa nonton Upin Ipin. Sekitar pukul 12 bapak dan adikku nyusul ke rumah sakit. Hm, keluarga emang support system numero uno sih. Oya, aku sempat disuntik antibiotik tuh. Karena tragedi alergi antibiotik kemarin, aku dicek dulu alergi sama antibiotik yang mau disuntikin atau nggak. Caranya dengan disuntikin ke bawah kulit dan itu sakitnya nauzubillah. Setelah ternyata nggak alergi, baru deh antibiotik disuntikin lewat infus.
Dari pukul 2 siang, jadwal operasiku diundur ke pukul 4 sore karena Dokter Anik ada rapat dulu. Duh, deg-degannya makin lama nih. Pukul 3 sore, perawat datang bawain sabun antiseptik dan obat kumur. Aku disuruh mandi sampai benar-benar bersih dan kumur pakai itu obat. Oya, disuruh ganti baju juga pakai baju operasi. Bajunya lucu kayak baby doll dan warnanya biru kesukaanku. Ehehehehe. Perawat juga bawain penutup rambut kek shower cap gitu tapi nanti aja ah dipakainya pas mau masuk ruang operasi. Pukul 3.30 sore, ada karyawan rumah sakit yang datang ke kamar dan kek ngasih wejangan gitu. Dia juga ngajak aku sekeluarga buat doa bersama menjelang operasiku, plus ingetin buat solat dulu sebelum masuk ruang operasi. Asli rasanya tuh trenyuh banget pas kami sekeluarga dipimpin doa bersama. Pengin nangis, tapi aku sok kuat. Di tengah aku nunduk karena berdoa, aku sepintas baca id card karyawan itu. “Staff kerohanian dan instalasi pemulasaran jenazah”, gitu tulisannya. Tapi yang terbaca olehku cuma: staff pemulasaran jenazah. Oh Tuhanku, merinding.
Aku nggak tahu operasi gigi bungsu itu termasuk operasi besar apa nggak. Tapi yang jelas nanti aku bakal dibius total dan jujur ketakutan terbesarku sejak awal adalah aku nggak akan bangun lagi. Hehe.
Pukul 4, perawat datang dan bilang, “Sekarang ya.” Deg. Datang juga nih waktu. Aku ngelihat muka keluargaku tegang semua tapi tetap berusaha biasa aja untuk support aku. Setelah pakai penutup kepala dan benerin baju operasi, aku didorong pakai ranjang yang aku tidurin itu menuju ruang operasi. Oya, segala aksesoris harus dilepas tuh termasuk ikat rambut, perhiasan, gitu-gitu deh. Bahkan kalau saat itu aku pakai kutek pun harus dihapus dulu. Sebelum masuk ruang operasi, satu persatu keluarga menciumku dan menyemangati. Mwah, gitu.
Sepanjang didorong ke ruang operasi, aku dilihatin orang-orang di koridor. Ih, malu tahu. Di ruang operasi, aku ganti pakai kursi roda dan didorong lagi ke salah satu ruangan. Petugas yang bawa aku (aku nggak tahu dia perawat atau dokter) lucu banget dan sengaja bercanda buat cairin suasana biar aku nggak tegang. Sampai di ruangan, aku tiduran tuh di kasur operasi. Oh gini toh rasanya masuk ruang operasi. Aku dipasangin pendeteksi detak jantung di ibu jari kanan dan pendeteksi tekanan darah di lengan kiri. Jadi detak jantungku bisa dilihat pakai alat yang kek di film-film. Aku iseng dong coba tahan napas karena pengin tahu garisnya bakal kekmana, tetap naik turun atau lurus gitu. Hehe.
Seluruh petugas di ruangan itu ramah dan sengaja ngelucu buat cairin suasana. Waktu itu masih nunggu dokter anestesi jadi kan aku deg-degan ya. Mana itu ruangan dingin banget dan aku kebelet pipis. Ih tapi kan udah dipasangin alat-alat, masa mau pipis. Pukul 4.30 sore dokter anestesinya datang. Dia jelasin proses bius yang bakal dikasih ke aku. Intinya selain bius yang disuntikin, nanti aku bakal dikasih bius berupa gas gitu. Caranya dikasih pakai selang yang dimasukin lewat hidung sampai ke tenggorokan. Dokternya bilang kalau itu bakal kasih efek sakit di tenggorokan setelah aku sadar, jadi aku harus sabar katanya. Oya, saat itu Dokter Anik juga udah datang ke ruangan. Deg-degan aku makin menjadi, yaudah aku baca-baca doa aja tapi bukan doa makan atau doa bangun tidur kok. Saat bius disuntikin ke aku, hal terakhir yang aku ingat adalah dokter anestesi membacakan doa padaku dan bayi di ruang operasi seberang baru aja lahir.
Aku kebangun di ruang opname sekitar pukul 8 malam. Itu pun karena sengaja dibangunkan oleh ibuk dan perawat. Pengaruh obat bius belum hilang dari tubuhku sehingga aku rasanya masih ngantuk banget. Samar-samar aku dengar perawat bilang kalau aku harus dipaksa untuk sadar, minimal ada respon kek mata yang bergerak ketika diajak bicara. Kalau dibiarkan tidur dan nggak dibangunin, perawatnya bilang bisa-bisa aku tidur terus alias koma. Wididaw ngeri juga. Jadi di tengah ketidakberdayaanku, aku tetap berusaha setrongggg dan maksa diri buat respon. Berkali-kali aku dengar ibuk dan perawat manggil-manggil aku buat bikin aku terjaga. Tapi badanku lemes banget, aku cuma bisa respon lewat gerakan mata. Kondisinya saat itu bekas gigi yang udah dioperasi kek disumpal gitu pakai kassa dan diplester. Karena darahnya udah penuh, perawat bilang kalau dia mau ngelepas itu kassa. Yaudahlah mbak lepas aja, aku tak berdaya pun.
Kemudian datang perawat yang lain, seorang mas-mas, untuk memeriksa kadar oksigen dalam darahku. Katanya sih kurang, jadilah aku dipasangin selang oksigen di hidung. Oh gini toh rasanya pakai selang oksigen. Aku juga dicek tekanan darahnya dan sempat drop banget. Pokoknya selama pra dan pasca operasi, tekanan darahku naik turun. Setelah sekian lama aku dipaksa untuk terjaga, akhirnya aku boleh tidur. Aku kebangun besok paginya dengan kondisi bius yang udah hilang dan bekas jahitan operasi mulai cenut-cenut kek lagunya Smash. Jadi selain bagian gigi yang dicabut, bagian dalam pipiku juga dijahit entah kenapa. Lucunya, yang berasa nyeri tuh jahitan di pipi, bukannya bekas gigi yang dicabut. Oya, aku juga udah boleh makan tuh. Makannya susu tinggi protein. Ya iyalah masa makan daging wagyu.  Hehe. Mahal tahu.
Siangnya aku dapat menu makanan bubur sumsum, sengaja buat nyoba gitu katanya. Ih buat anak kok coba-coba. Rasanya sakit banget padahal bubur sumsum yang ibaratnya tinggal telan. Aku request ke bagian konsumsi (yailaa konsumsi, dikira acara himpunan) kalau makan malam aku mau susu lagi aja karena diminum pakai sedotan jadi lebih nyaman dikonsumsi olehku. Waktu itu aku belum bisa ngomong lancar, buka mulut pun dikit-dikit jadi berasa jadi pendiam aku tu.
Sorenya, Dokter Anik datang untuk cek kondisiku. Katanya aku harus coba makan mulai dari bubur halus, bubur kasar, sampai nasi secara bertahap. Nggak boleh makanan cair terus biar gigi dan mulut terbiasa. Aku juga udah boleh pulang malamnya karena tekanan darah udah normal, oksigen juga udah aman. Yayy pulang!
Sebelum pulang, aku minta suntikan pereda nyeri lagi karena rasanya tuh sakit banget kek ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Perawat datang untuk suntikin pereda nyeri lewat infus dan rasanya tuh rada sakit pas cairannya terasa ngalir di peredaran darah. Setelah cairan pereda nyeri masuk semua, perawat sekalian cabut infusku. Aku siap-siap pulang dan sempat mandi dulu tuh di rumah sakit plus nyobain gosok gigi dengan super hati-hati.
Ok, sekarang cerita pasca operasi. Selama pasca operasi, aku makan bubur bayi dicampur milo hasil kreasi ibukku yang cantik. Ibukku juga bikinin bubur sumsum tuh buat latihan makan yang lebih berat. Obat yang harus aku minum ada tiga dan setiap harinya aku harus pakai obat kumur tiga kali. Aku belum boleh mengendarai kendaraan sendiri selama dua minggu ke depan. Seminggu setelah operasi aku pun harus kontrol ke dokter. Oya, jahitan operasiku tuh benangnya yang nggak harus dilepas jadi bisa nyatu gitu nantinya.
Apa yang aku rasain pasca operasi? Jujur, setiap bangun pagi rasanya kepalaku sakit banget. Jadi setiap bangun pagi, aku cuma bisa diam sambil nunggu sakitnya agak reda selama lebih kurang lima belas menit sebelum akhirnya bisa bangkit dari kasur. Badanku juga masih mudah lemas. Oya, entah ini pengaruh operasi atau emang dasar bawaan, tapi aku jadi gampang skip. Jadi kadang aku bisa tiba-tiba diam dan lemot gitu. Eh, apa emang sebenarnya aku bego ya?
Yah gitu deh lebih kurang cerita aku dan gigi bungsuku. Overall, operasi gigi bungsu tidak menakutkan meski mungkin ada bagian-bagian dalam ceritaku ini yang menakutkan. Jadi buat kelen yang sedang atau nanti mengalami kisah gigi bungsu yang sama denganku, tenang dan beranilah! Gigi bungsu yang tumbuhnya nggak bagus memang lebih baik dicabut aja karena bisa bawa pengaruh jelek buat jangka panjang.
Oya, kalau mau tahu soal biaya total operasi gigi bungsu buat persiapan, kemarin itu aku ngintip bill yang ditebus orang tuaku. Totalnya lebih kurang Rp 7 juta sekian. Itu karena aku naik kelas sih fasilitasnya. Karena aku pakai BPJS, jadi orang tuaku hanya membayar sisa biaya naik kelasnya. Diam-diam aku ngerasa bersalah deng karena ngabisin banyak biaya.
Ok, itu tadi cerita gigi bungsuku. Selamat menikmati cerita kelen bersama gigi bungsu masing-masing! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar