Tepatnya
empat bulan berlalu setelah pertemuan terakhir Adriana dengan Rio di kedai kopi
kesukaan Rio. Saat itu Rio sempat menjelaskan beberapa hal yang memang menjadi
pertanyaan yang terus berputar di kepala Adriana. Bahkan hingga saat ini.
Mengapa pergi? Mengapa bersama yang lain? Mengapa harus menghapus Adriana dari
kontak pertemanan seolah ingin memblokade Adriana masuk kembali ke
kehidupannya? Jawaban demi jawaban yang Rio berikan empat bulan yang lalu
memang melegakan rasa ingin tahu Adriana. Untuk beberapa saat saja. Sebab yang
terjadi kini Adriana terus memendam tanya dan meredam curiga. Ah.. sebenarnya
apa yang terjadi di antara mereka?
Dan
tepatnya tiga bulan telah lewat setelah Adriana terakhir melihat Rio, sebatas
punggungnya saja. Saat itu mereka berdua berjanji untuk bertemu di kedai kopi
dekat kampus Rio. Kedai kopi lagi. Selalu begitu, sebab kopi menjadi perantara
rindu dua manusia yang memupuk cinta sejak lima tahun lalu itu. Cinta yang
berawal dalam diam, kemudian mampu menjelma aksara dan tindakan nyata antara
keduanya. Rio tidak benar-benar datang waktu itu. Tepatnya ia memutuskan untuk
pergi ketika nyaris mencapai pintu kedai kopi. Dan kepergian itu ternyata
bertahan sampai saat ini. Adriana saat itu sempat melihat Rio, meski sebatas
punggungnya saja. Dan itu menyakitkan. Adriana bahkan tidak sampai melihat
bagaimana raut wajah Rio saat memutuskan pergi darinya. Benarkah ia sungguh-sungguh
ingin pergi? Adakah raut penyesalan tertanam di wajahnya? Atau rasa sayang yang
tertinggal meski hanya jauh di dalam matanya yang sipit.
Adriana
menghembuskan napas panjang. Entah untuk yang keberapa kalinya. Ia benci
memandang seseorang hanya untuk melihatnya pergi. Untuk apa datang jika hanya
untuk pergi? Bahkan Rio tak benar-benar hadir kala itu. Gantung. Ada ruang
kosong antara mereka berdua karena rindu dan pertemuan yang belum tuntas. Membuat
rasa ingin tahu di dalam dada dan pikiran Adriana terpupuk semakin ranum.
Kesalahan macam apa yang mungkin telah Adriana perbuat?
Dan
setelah tiga, empat bulan berlalu, kini Adriana dihadapkan pada sebuah dilema.
Undangan pertemuan itu ia dapatkan pagi tadi, dan hingga malam kini Adriana
masih bingung sendiri. Harus bagaimana ia nanti?
“Ne,
jadi aku harus bagaimana? Apa yang harus aku perbuat jika nanti aku bertemu dia
kembali?” Adriana bertanya pada Rahne yang malam itu berbaring di sampingnya
demi menemani rasa gundah yang bertamu sejak tadi pagi.
“Keluarkan
saja apa yang ada di pikiranmu. Mau memaki, maki saja. Mau tampar, ya tampar
saja. Mumpung ada kesempatan.” Rahne mengeluarkan pikiran isengnya.
“Itu
kan, di pikiranku. Tapi di hatiku tidak akan pernah sampai, Rahneeee.”
“Jadi
harus bagaimana, dong? Itu yang terpikirkan olehku, Adriana yang sedang galau
hatinya.”
Adriana
menerawang ke langit-langit kamarnya. Pikirannya memutar ulang ingatan-ingatan
tentang ia dan Rio. Wajah lucu Rio ketika meminta sesuatu. Perut Rio yang
tambun dan selalu suka Adriana cubit. Wajah polos Rio saat tertidur di
sampingnya. Ah, Adriana suka sekali mengusili Rio saat tidur demi melihat
ekspresi lucunya. Bagaimana Rio sabar sekali menemaninya saat mendaki gunung.
Bagaimana semangatnya Rio membawa Adriana melihat matahari terbit yang memerah
keemasan. Bagaimana saat pertama kali Rio berkenalan dengan ayah Adriana. Pipi
Rio yang bersemu merah dengan cepatnya saat ia malu atau salah tingkah. Dan
bagaimana dengan polosnya Rio berkata, “Kok aku deg-degan banget ya, Dri?” saat
mereka berdua berciuman di bawah lampu yang temaram.
Semua
terputar dengan sempurna di ingatan Adriana. Jelas, seolah semua baru saja
terjadi kemarin sore. Hmm.. luka itu pun masih terasa segar di hati Adriana.
Luka yang tertoreh oleh kepergian Rio, sosok yang ia cintai dan ia perjuangkan
tanpa henti, yang sayangnya memutuskan untuk berhenti.
“Bagaimana
jika nanti ia hadir bersama kekasih barunya?” Adriana menggigit bibir.
“Nah,
tanyakan pada dirimu sendiri. Apa kau masih mau bertahan, atau akhirnya kau
menyerah lalu pergi?”
Hilang.
Cinta yang Adriana perjuangkan selama lima tahun terakhir telah hilang. Entah
untuk kembali pulang atau selamanya hilang. Namun jelas terasa ada rongga di
hati Adriana sebab ditinggalkan oleh pemiliknya terdahulu. Kehilangan sosok
yang ia dekap mati-matian, membayangkannya saja Adriana tidak pernah. Maka saat
semuanya benar-benar nyata, sontak Adriana kehilangan arah.
Kosong.
Semuanya nampak semu di mata Adriana. Semenjak Rio pergi, ia rapuh jika harus
berdiri sendiri. Baiklah, kau mungkin merasa bahwa Adriana terlalu berlebihan.
Tapi, hey, tak pernahkah kau jatuh cinta? Kau pernah saja menjadi gila hanya
karena cinta. Dan kau lebih pernah merasa hanya setengah hidup saat
ditinggalkan cinta yang telah mati-matian kau jaga. Oh, ayolah, kita semua
pernah begitu berlebihan dalam mencinta.
Tak
apa. Cinta memang begitu semena-mena. Siapa saja mampu ia siksa dalam duka
bahkan bahagia. Dan cinta, ah.. cinta pula begitu jenaka. Seenaknya saja ia
datang dan pergi tanpa permisi. Membuat siapa saja kadang perlu menertawakan
dirinya sendiri.
Dua
hari berlalu, Adriana akhirnya maju. Ia datang memenuhi undangan pertemuan Rio.
Masih di kedai kopi, tempat segala hati menanti dan jutaan rindu bertemu. Pukul
tiga, waktu yang Rio janjikan. Adriana sengaja datang terlambat, lebih karena
ia benci jika harus datang hanya untuk melihat kepergian Rio. Lagi.
Pukul
tiga lewat tiga puluh ketika Adriana akhirnya datang. Tak langsung masuk, ia
lebih dulu berdiri di ambang pintu. Tempat Rio berbalik arah dan pergi tiga
bulan lalu. Menyisakan punggung untuk Adriana pandang. Dan tak lupa
kepedihan-kepedihan yang merajam. Adriana telah melihat Rio duduk dengan tenang
di sudut kedai. Ah, ia masih saja tampan seperti yang terakhir kali Adriana
lihat. Rahangnya tegas, alisnya tebal dan sesekali berkerut entah memikirkan
apa. Dadanya yang tetap bidang membuat Adriana terlempar pada masa dimana ia
dapat berbaring dengan nyaman disana. Sebentar lagi. Ia masih ingin tahu
bagaimana rasanya ketika Rio berada di tempat ia berdiri saat ini untuk
kemudian berbalik dan pergi.
Tuhan,
mengapa sesak sekali rasanya? Susah payah Adriana menahan air mata agar tak
turun. Baiklah, cukup sudah ia berdebat dengan rasa sakit. Baiknya ia segera
masuk dan berhadapan dengan sosok yang telah ia rindukan siang dan malam.
“Adriana.”
Lemah. Suara berat dan memabukkan yang memanggil lengkap namanya itu membuat
Adriana lemah. Sedikit paksaan ia mengusung senyum terbaik.
Adriana
duduk dengan anggun, lalu memesan secangkir kopi. Manis atau pahit? Hmm..
bingung juga. Pertemuan kali ini pun entah apa rasanya. Lebih baik ia bubuhkan
gula sendiri saja nanti, saat ia telah mengerti rasa yang tepat baginya hari
ini. Maka Adriana memesan kopi dengan gula terpisah.
“Apa
kabar?” tanya Rio.
Baik.
Namun Adriana pernah jauh lebih baik dari sekarang. Sebelum kastil cinta yang
susah payah ia bangun untuk ditinggali berdua dengan Rio runtuh dalam sekali
hentakan. Menyisakan puing-puing yang entah apa masih bisa dibangun kembali.
Adriana
memandang Rio lurus, tepat ke dalam dua bola matanya yang bening. Ia ingin
tahu, masih adakah cinta tertinggal disana. Rio balas menatap Adriana.
Tertunduk. Lalu menatap lagi. Begitu berulang kali entah apa maknanya, Adriana
pun tak tahu. Sulit sekali rasanya menerka rasa yang Rio punya terhadapnya
sekarang ini.
Kehilangan
itu lucu, ya. Sesuatu yang susah payah kau genggam pada akhirnya harus
terlepas. Sakit, padahal sebelumnya kau adalah orang terbahagia yang pernah
ada. Lebih sakit lagi saat sesuatu yang telah lama kau jaga itu akhirnya dijaga
oleh orang lain yang bahkan tak pernah usahanya melebihi usahamu. Ingin sekali
kau terbahak, bahkan entah untuk apa. Mungkin untuk dirimu sendiri yang
perjalanannya ternyata sia-sia.
Atau
mungkin tidak sia-sia? Hanya saja harus terhenti, entah sudah sampai ujungnya
atau belum. Ya, kehilangan itu lucu. Kenangan akan terus mengalir dari luka
yang tertoreh. Hadirnya tak bisa ditebak, kapan saja ia mau tanpa kau siap. Dan
ia akan selamanya tinggal disana, tanpa bisa terhapuskan. Menghapus kenangan?
Lagi pula, untuk apa? Biar saja ia tinggal, susah payah pun kau berusaha tak
akan pernah ia benar-benar berangkat. Biar, biar saja. Kenangan memang harus
tetap disimpan, sebagai apa pun nantinya.
Laki-laki
tampan yang sedang duduk di hadapan Adriana ini pernah hilang, kemudian datang
kembali entah untuk apa. Luka yang kemarin masih sama, tak terobati meski Rio
hadir kembali. Adriana pernah merasakan kehilangan beberapa kali dan rasanya
sama. Sakit, sebab sebagian dari dirimu hilang meski nanti akan tumbuh kembali.
Dan kehilangan Rio, Adriana merasa nyaris seluruh dirinya hilang. Sebutlah
Adriana berlebihan, namun kau pasti pernah merasakan hal yang sama. Entah
karena cinta, atau karena apa pun itu yang hilang dan pergi dari hidupmu.
“Kali
ini apa, Rio?” tanya Adriana sendu. Rio menatap Adriana lekat, sama sendunya,.
Bahkan lebih.
Tanpa
dia, aku tak mengerti bagaimana rasanya hidupku nanti. Pasti tetap berjalan
seperti biasanya, meski rasanya lebih hampa.
Baiklah. Tanpa dia, hidupku tetap akan baik-baik saja meski ada sebagian
yang menghilang.
Ah,
aku tak pernah merencanakan jatuh cinta yang sedemikian rupa padanya. Semua
terjadi tanpa permisi. Lalu ketika akhirnya ia juga pergi tanpa permisi,
haruskah aku tetap menanti?
Hai may, aku anonim loo. Kenalan yuuk.
BalasHapusNanti, ya. Sekarang lagi nggak pengen. Pengennya ngopi. Eh, tapi udah imsak. Yaudah, nggak jadi.
Hapus