saya bukan blogger. saya hanya ingin bercerita :)

Kamis, 23 Juni 2016

Adriana: Pertemuan


Tepatnya empat bulan berlalu setelah pertemuan terakhir Adriana dengan Rio di kedai kopi kesukaan Rio. Saat itu Rio sempat menjelaskan beberapa hal yang memang menjadi pertanyaan yang terus berputar di kepala Adriana. Bahkan hingga saat ini. Mengapa pergi? Mengapa bersama yang lain? Mengapa harus menghapus Adriana dari kontak pertemanan seolah ingin memblokade Adriana masuk kembali ke kehidupannya? Jawaban demi jawaban yang Rio berikan empat bulan yang lalu memang melegakan rasa ingin tahu Adriana. Untuk beberapa saat saja. Sebab yang terjadi kini Adriana terus memendam tanya dan meredam curiga. Ah.. sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka?
Dan tepatnya tiga bulan telah lewat setelah Adriana terakhir melihat Rio, sebatas punggungnya saja. Saat itu mereka berdua berjanji untuk bertemu di kedai kopi dekat kampus Rio. Kedai kopi lagi. Selalu begitu, sebab kopi menjadi perantara rindu dua manusia yang memupuk cinta sejak lima tahun lalu itu. Cinta yang berawal dalam diam, kemudian mampu menjelma aksara dan tindakan nyata antara keduanya. Rio tidak benar-benar datang waktu itu. Tepatnya ia memutuskan untuk pergi ketika nyaris mencapai pintu kedai kopi. Dan kepergian itu ternyata bertahan sampai saat ini. Adriana saat itu sempat melihat Rio, meski sebatas punggungnya saja. Dan itu menyakitkan. Adriana bahkan tidak sampai melihat bagaimana raut wajah Rio saat memutuskan pergi darinya. Benarkah ia sungguh-sungguh ingin pergi? Adakah raut penyesalan tertanam di wajahnya? Atau rasa sayang yang tertinggal meski hanya jauh di dalam matanya yang sipit.
Adriana menghembuskan napas panjang. Entah untuk yang keberapa kalinya. Ia benci memandang seseorang hanya untuk melihatnya pergi. Untuk apa datang jika hanya untuk pergi? Bahkan Rio tak benar-benar hadir kala itu. Gantung. Ada ruang kosong antara mereka berdua karena rindu dan pertemuan yang belum tuntas. Membuat rasa ingin tahu di dalam dada dan pikiran Adriana terpupuk semakin ranum. Kesalahan macam apa yang mungkin telah Adriana perbuat?
Dan setelah tiga, empat bulan berlalu, kini Adriana dihadapkan pada sebuah dilema. Undangan pertemuan itu ia dapatkan pagi tadi, dan hingga malam kini Adriana masih bingung sendiri. Harus bagaimana ia nanti?
“Ne, jadi aku harus bagaimana? Apa yang harus aku perbuat jika nanti aku bertemu dia kembali?” Adriana bertanya pada Rahne yang malam itu berbaring di sampingnya demi menemani rasa gundah yang bertamu sejak tadi pagi.
“Keluarkan saja apa yang ada di pikiranmu. Mau memaki, maki saja. Mau tampar, ya tampar saja. Mumpung ada kesempatan.” Rahne mengeluarkan pikiran isengnya.
“Itu kan, di pikiranku. Tapi di hatiku tidak akan pernah sampai, Rahneeee.”
“Jadi harus bagaimana, dong? Itu yang terpikirkan olehku, Adriana yang sedang galau hatinya.”
Adriana menerawang ke langit-langit kamarnya. Pikirannya memutar ulang ingatan-ingatan tentang ia dan Rio. Wajah lucu Rio ketika meminta sesuatu. Perut Rio yang tambun dan selalu suka Adriana cubit. Wajah polos Rio saat tertidur di sampingnya. Ah, Adriana suka sekali mengusili Rio saat tidur demi melihat ekspresi lucunya. Bagaimana Rio sabar sekali menemaninya saat mendaki gunung. Bagaimana semangatnya Rio membawa Adriana melihat matahari terbit yang memerah keemasan. Bagaimana saat pertama kali Rio berkenalan dengan ayah Adriana. Pipi Rio yang bersemu merah dengan cepatnya saat ia malu atau salah tingkah. Dan bagaimana dengan polosnya Rio berkata, “Kok aku deg-degan banget ya, Dri?” saat mereka berdua berciuman di bawah lampu yang temaram.
Semua terputar dengan sempurna di ingatan Adriana. Jelas, seolah semua baru saja terjadi kemarin sore. Hmm.. luka itu pun masih terasa segar di hati Adriana. Luka yang tertoreh oleh kepergian Rio, sosok yang ia cintai dan ia perjuangkan tanpa henti, yang sayangnya memutuskan untuk berhenti.
“Bagaimana jika nanti ia hadir bersama kekasih barunya?” Adriana menggigit bibir.
“Nah, tanyakan pada dirimu sendiri. Apa kau masih mau bertahan, atau akhirnya kau menyerah lalu pergi?”
Hilang. Cinta yang Adriana perjuangkan selama lima tahun terakhir telah hilang. Entah untuk kembali pulang atau selamanya hilang. Namun jelas terasa ada rongga di hati Adriana sebab ditinggalkan oleh pemiliknya terdahulu. Kehilangan sosok yang ia dekap mati-matian, membayangkannya saja Adriana tidak pernah. Maka saat semuanya benar-benar nyata, sontak Adriana kehilangan arah.
Kosong. Semuanya nampak semu di mata Adriana. Semenjak Rio pergi, ia rapuh jika harus berdiri sendiri. Baiklah, kau mungkin merasa bahwa Adriana terlalu berlebihan. Tapi, hey, tak pernahkah kau jatuh cinta? Kau pernah saja menjadi gila hanya karena cinta. Dan kau lebih pernah merasa hanya setengah hidup saat ditinggalkan cinta yang telah mati-matian kau jaga. Oh, ayolah, kita semua pernah begitu berlebihan dalam mencinta.
Tak apa. Cinta memang begitu semena-mena. Siapa saja mampu ia siksa dalam duka bahkan bahagia. Dan cinta, ah.. cinta pula begitu jenaka. Seenaknya saja ia datang dan pergi tanpa permisi. Membuat siapa saja kadang perlu menertawakan dirinya sendiri.
Dua hari berlalu, Adriana akhirnya maju. Ia datang memenuhi undangan pertemuan Rio. Masih di kedai kopi, tempat segala hati menanti dan jutaan rindu bertemu. Pukul tiga, waktu yang Rio janjikan. Adriana sengaja datang terlambat, lebih karena ia benci jika harus datang hanya untuk melihat kepergian Rio. Lagi.
Pukul tiga lewat tiga puluh ketika Adriana akhirnya datang. Tak langsung masuk, ia lebih dulu berdiri di ambang pintu. Tempat Rio berbalik arah dan pergi tiga bulan lalu. Menyisakan punggung untuk Adriana pandang. Dan tak lupa kepedihan-kepedihan yang merajam. Adriana telah melihat Rio duduk dengan tenang di sudut kedai. Ah, ia masih saja tampan seperti yang terakhir kali Adriana lihat. Rahangnya tegas, alisnya tebal dan sesekali berkerut entah memikirkan apa. Dadanya yang tetap bidang membuat Adriana terlempar pada masa dimana ia dapat berbaring dengan nyaman disana. Sebentar lagi. Ia masih ingin tahu bagaimana rasanya ketika Rio berada di tempat ia berdiri saat ini untuk kemudian berbalik dan pergi.
Tuhan, mengapa sesak sekali rasanya? Susah payah Adriana menahan air mata agar tak turun. Baiklah, cukup sudah ia berdebat dengan rasa sakit. Baiknya ia segera masuk dan berhadapan dengan sosok yang telah ia rindukan siang dan malam.
“Adriana.” Lemah. Suara berat dan memabukkan yang memanggil lengkap namanya itu membuat Adriana lemah. Sedikit paksaan ia mengusung senyum terbaik.
Adriana duduk dengan anggun, lalu memesan secangkir kopi. Manis atau pahit? Hmm.. bingung juga. Pertemuan kali ini pun entah apa rasanya. Lebih baik ia bubuhkan gula sendiri saja nanti, saat ia telah mengerti rasa yang tepat baginya hari ini. Maka Adriana memesan kopi dengan gula terpisah.
“Apa kabar?” tanya Rio.
Baik. Namun Adriana pernah jauh lebih baik dari sekarang. Sebelum kastil cinta yang susah payah ia bangun untuk ditinggali berdua dengan Rio runtuh dalam sekali hentakan. Menyisakan puing-puing yang entah apa masih bisa dibangun kembali.
Adriana memandang Rio lurus, tepat ke dalam dua bola matanya yang bening. Ia ingin tahu, masih adakah cinta tertinggal disana. Rio balas menatap Adriana. Tertunduk. Lalu menatap lagi. Begitu berulang kali entah apa maknanya, Adriana pun tak tahu. Sulit sekali rasanya menerka rasa yang Rio punya terhadapnya sekarang ini.
Kehilangan itu lucu, ya. Sesuatu yang susah payah kau genggam pada akhirnya harus terlepas. Sakit, padahal sebelumnya kau adalah orang terbahagia yang pernah ada. Lebih sakit lagi saat sesuatu yang telah lama kau jaga itu akhirnya dijaga oleh orang lain yang bahkan tak pernah usahanya melebihi usahamu. Ingin sekali kau terbahak, bahkan entah untuk apa. Mungkin untuk dirimu sendiri yang perjalanannya ternyata sia-sia.
Atau mungkin tidak sia-sia? Hanya saja harus terhenti, entah sudah sampai ujungnya atau belum. Ya, kehilangan itu lucu. Kenangan akan terus mengalir dari luka yang tertoreh. Hadirnya tak bisa ditebak, kapan saja ia mau tanpa kau siap. Dan ia akan selamanya tinggal disana, tanpa bisa terhapuskan. Menghapus kenangan? Lagi pula, untuk apa? Biar saja ia tinggal, susah payah pun kau berusaha tak akan pernah ia benar-benar berangkat. Biar, biar saja. Kenangan memang harus tetap disimpan, sebagai apa pun nantinya.
Laki-laki tampan yang sedang duduk di hadapan Adriana ini pernah hilang, kemudian datang kembali entah untuk apa. Luka yang kemarin masih sama, tak terobati meski Rio hadir kembali. Adriana pernah merasakan kehilangan beberapa kali dan rasanya sama. Sakit, sebab sebagian dari dirimu hilang meski nanti akan tumbuh kembali. Dan kehilangan Rio, Adriana merasa nyaris seluruh dirinya hilang. Sebutlah Adriana berlebihan, namun kau pasti pernah merasakan hal yang sama. Entah karena cinta, atau karena apa pun itu yang hilang dan pergi dari hidupmu.
“Kali ini apa, Rio?” tanya Adriana sendu. Rio menatap Adriana lekat, sama sendunya,. Bahkan lebih.
Tanpa dia, aku tak mengerti bagaimana rasanya hidupku nanti. Pasti tetap berjalan seperti biasanya, meski rasanya lebih hampa.  Baiklah. Tanpa dia, hidupku tetap akan baik-baik saja meski ada sebagian yang menghilang.
Ah, aku tak pernah merencanakan jatuh cinta yang sedemikian rupa padanya. Semua terjadi tanpa permisi. Lalu ketika akhirnya ia juga pergi tanpa permisi, haruskah aku tetap menanti?

2 komentar:

  1. Hai may, aku anonim loo. Kenalan yuuk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti, ya. Sekarang lagi nggak pengen. Pengennya ngopi. Eh, tapi udah imsak. Yaudah, nggak jadi.

      Hapus