“Langit, apa yang kamu pikirkan saat kamu melihat
langit?” tanya Awan saat ia dan Langit sedang berbaring bersisian di hamparan
rumput hijau di dekat padang ilalang, tempat kesukaan mereka.
“Aku memikirkan diriku sendiri,” jawab Langit.
Awan menoleh kepada Langit. Alisnya berkerut meminta
penjelasan karena ia tak puas dengan jawaban yang diberikan Langit.
“Aku Langit. Remember? Saat aku melihat langit,
tentu aku melihat diriku sendiri. Aku adalah Langit. Langit adalah aku.”
Awan tertawa terbahak. “Dasar egois!”
Langit memilih untuk tidak mengindahkannya. Matanya
tetap fokus pada hamparan langit biru yang menaungi awan yang berarak. Langit….
Awan…. Ia adalah Langit dan pria di sisinya bernama Awan. Pemandangan di atas
sana seperti mereka berdua yang sedang saling menerjemahkan sesuatu yang tak
terbaca. Apakah ia akan selalu menjadi langit yang selalu mengiringi awan? Atau
ia dapat menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar mengiringi? Nyatanya hingga
saat ini mereka berdua menjalin sesuatu tanpa nama yang pasti.
“Apa yang paling diinginkan langit untuk menjadi
pendampingnya?” tanya Awan lagi.
“Pendamping?”
“Ya, pendamping. Semacam sosok yang selalu menemani.
Kamu kan Langit, jadi menurutmu apa yang diinginkan langit di atas sana untuk
menjadi pendampingnya?”
Langit termenung. “Awan...” jawaban itu hanya terucap dalam hati saja.
“Aku tak tahu. Mungkin… pelangi? Ia selalu membuat
langit menjadi lebih indah,”
“Pelangi?” Awan terbahak.
“Terlalu cewek, kamu kan cewek. Apa kamu sudah bosan
untuk menjadi straight?” kata Awan
setelah tawanya mereda.
“Bukannya kamu tanya tentang langit di atas sana?
Mengapa jadi aku?” Langit merasa tidak terima.
“Soalnya kamu juga Langit, hehehe. Jika ada sesuatu
yang berhubungan dengan langit, aku pasti selalu teringat padamu,” Awan
nyengir. Langit mengerjapkan matanya. Benarkah ia selalu mengingatku? Apakah
dia juga selalu mengingatku selama langit tetap bernaung di atasnya?
“Lagipula pelangi hanya muncul setelah hujan deras,
itu pun hanya sesaat. Ia hanya akan menjadi keindahan sesaat pula bagimu. Tidak
cocok untuk menjadi pendampingmu.” tambah Awan.
“Lalu… siapa yang diinginkan awan untuk menjadi
pendampingnya?” tanya Langit dengan keseriusan jauh di lubuk hatinya. Entah
mengapa ia merasakan jantungnya berdebar dengan intensitas yang tak biasa.
Awan melayangkan pandangannya kepada hamparan langit
di atasnya. Ia tampak berpikir dengan serius, bingung menentukan jawaban apa
pula yang sebenarnya ia inginkan.
“Awan belum benar-benar yakin telah menemukannya.”
***
“Langit, aku bertemu dengan wanita yang membuatku
bertekuk lutut. Pesonanya sungguh membiusku.” kata Awan saat ia dan Langit
kembali berbaring bersisian di tempat kesukaan mereka.
Langit terbelalak meski berusaha untuk tetap
terlihat tenang. Ia merasakan suhu tubuhnya berubah tak beraturan.
“Oh ya? Seperti apakah wanita yang mampu
meluluhkanmu itu?” tanya Langit dengan senyum palsu yang mengembang.
“Namanya Mentari. Sungguh, bersamanya aku merasa
bahwa ialah satu-satunya penguasaku. Ia berhak atas semua yang ada pada diriku.”
Awan berkata dengan menggebu.
“Are you alright? Sepertinya ia telah benar-benar
meracunimu.” dalam hati Langit tidak terima.
“Tidak. Ia bukan racun. Ia hanyalah candu bagiku
yang membuatku ingin terus mencintanya dan berada di sisinya. Aku sudah jadian
dengannya, Langit. Sungguh, aku merasa bahwa ia adalah wanita yang tepat untuk
mendampingiku.” kata Awan masih menggebu.
“Mendampingi?”
“Ya. Apa kamu lupa cerita tentang siapa pendamping
yang tepat untuk awan dan langit? Aku rasa, Mentari adalah pendamping yang
tepat untuk Awan. Ia yang selalu ditunggu di setiap pagi. Ia bersinar bersama
awan sepanjang hari. Ia menjadi cahaya utama bagi setiap makhluk di dunia ini.
Ia adalah kekuatan. Mentari. Matahari.”
Langit tercenung. Alasan yang dilontarkan Awan
memang benar adanya. Mentari adalah candu yang amat kuat bagi Awan. Dengan
sekejap ia merasa lemah.
“Lalu, apakah langit sudah menemukan pendamping yang
tepat?”
“Mungkin…. asap?”
“Asap?”
“Ya. Akhir-akhir ini asap membumbung tinggi ke
langit. Ia menari bersama langit, membuat warna baru dalam diri langit. Aku
rasa asap dapat menjadi rasa baru untuk langit.” Langit memberi alasan meski ia
sebenarnya ragu.
“Asap itu racun, Langit. Ia hanya akan merusakmu. Ia
bukan menari bersamamu dan membuat warna baru dalam hidupmu, namun ia membuatmu
nampak kotor dan tidak indah lagi. Ia hanya akan menjadi hal yang buruk bagimu.”
sergah Awan.
Aku
tahu. Yang Langit ingin sebenarnya hanyalah Awan.
Langit memandangi Awan yang berada di sisinya.
Pikirannya berkecamuk. Awan sedang tersenyum lebar menatap langit di atasnya.
Ia pasti sedang bahagia sekali karena telah memiliki Mentari, meskipun setiap
saat yang bersamanya adalah Langit dan langit di atasnya.
***
“Langit, coba lihat wanita ini. Bagaimana
menurutmu?” tanya Awan sambil memperlihatkan foto di layar handphonenya. Mereka
masih berada di tempat yang sama, pada waktu yang berbeda.
“Hmmm. Memangnya siapa?” tanya Langit. Perasaannya
mulai tidak enak. Rasa tidak karuan yang muncul saat Awan bercerita tentang
Mentari kini kembali muncul.
“Namanya Angin. Ia wanita yang paling membuatku
penasaran yang pernah aku temui. Sungguh, mendapatkannya adalah hadiah terindah
dalam hidupku.” kata Awan.
Alis Langit langsung tertaut. Diselipkannya anak
rambut yang mengganggu pandangannya pada mahakarya Tuhan yang sedang berada di
sisinya: Awan.
“Maksudmu? Mentari?”
“Mentari tidak sehebat yang kukira. Ia terlalu
tinggi untukku.”
“Tentu saja. Ia adalah matahari. Kekuatannya
melemahkanmu, Awan. Tak pernahkah kamu sadar bahwa awan berada di bawah naungan
matahari. Kamu memang dikuasai olehnya, seperti perkataanmu tempo hari. Tentu
saja ia tidak tepat untukmu.” Langit berkata dengan hati yang sedikit lega
karena berhasil mengungkapkan kata yang telah tersimpan sejak lama.
Awan termenung sesaat, memikirkan kebenaran yang
terselip dalam perkataan Langit.
“Tapi aku sudah punya Angin. Ia menemani awan dengan
segala tingkah lakunya. Angin selalu hadir dalam awan, bukan?”
Langit terdiam. Suhu tubuhnya kembali panas-dingin.
Sungguh, ia tidak rela jika ada orang lain yang kembali mendahuluinya. Padahal
selama ini ia selalu ada bersama Awan. Langit di angkasa pun selalu bersama
awan.
“Lalu Langit, siapakah pendamping yang kira-kira
tepat untukmu?” tanya Awan.
“Aku tidak tahu.”
“Kamu harus tahu. Awan sudah menemukan
pendampingnya, bagaimana dengan langit yang selalu bersamanya?”
Selalu
bersamanya?
Langit menatap Awan, lama. Awan pun menatapnya,
menanti jawaban yang akan keluar dari mulut Langit.
“Mungkin… bumi. Tanah.”
“Are you serious?” Awan bangkit dari tidurnya. Ia
menatap Langit karena jawaban Langit sangat asing di telinganya.
“Yap. Memangnya kamu tidak pernah mendengar ungkapan
langit dan bumi? Berarti mereka
adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Mereka mungkin tak sama, namun
selalu bersama.” Langit menjawab pasti. Pandangannya tetap lurus menatap
dirinya sendiri di angkasa.
“Aku rasa tidak. Langit dan bumi adalah wujud
perbedaan yang sulit sekali dipersatukan. Akan sulit bagi kalian untuk bersama.
Langit dan bumi adalah dua hal yang berbeda, dan tidak akan menjadi satu. Jika
langit dan bumi bersatu, bukankah dunia akan kiamat?” kata Awan.
Langit termenung. Lama sekali. Dan akhirnya ia
berkata, “Baiklah.”
Aku
memang tidak benar-benar menginginkan bumi. Aku menginginkan awan.
***
“Langit, Angin telah pergi.” kata Awan.
“Pergi?”
“Ya. Ia telah meninggalkanku. Aku rasa ia juga bukan
pendamping yang tepat untuk awan.”
“Memang. Angin hanya sekedar lewat dalam diri awan,
ia tidak pernah benar-benar tinggal. Ia hanya datang sebentar dan berlalu
begitu saja. Bagaimana mungkin ia dapat menjadi pendamping bagi awan?” Langit
merasa lega. Kini tidak ada Angin diantara dia dan Awan.
“Benar juga. Ia memang hanya numpang lewat di
hidupku. Ia tidak benar-benar tinggal denganku.” Awan memejamkan matanya,
merasakan semilir angin yang berhembus melewatinya.
Langit menoleh ke samping, menikmati indah paras
Awan. Kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, bulu mata yang
membingkai indah.
“Tapi aku sudah menemukan penggantinya, Langit.”
Awan menoleh tiba-tiba, membuat Langit jadi gelagapan karena tertangkap basah
sedang memandangi Awan.
“Eh? Apa?”
Awan terdiam. Ia pun memandangi Langit untuk
sejenak. Bola mata Langit yang bening kecokelatan dan bulat seperti memakai
lensa kontak, pipinya yang agak tembam, bibirnya yang selalu tersenyum manis…
“Aku sudah menemukan pengganti Angin. Namanya Hujan.
Bukankah hujan hadir setelah titik air memenuhi awan? Berarti ia ada karena
awan. Maka awan dan hujan adalah paket lengkap, mereka adalah pasangan hidup
dan mati.”
Langit terdiam. Baru saja ia merasakan bahagia
karena tidak ada seseorang diantara mereka, nyatanya ada sosok baru yang hadir.
“Bagaimana denganmu, Langit? Sampai sekarang kamu
belum juga menemukan pendamping yang tepat.” Awan kembali membuka suara.
“Beberapa kali aku merasa mendapat sosok yang tepat,
namun kamu selalu menyanggahnya.” tawa Langit berderai lepas.
“Aku hanya ingin kamu menemukan orang yang
benar-benar tepat.”
Kamu,
Awan. Kamu.
“Aku… masih akan menunggunya datang. Tanpa aku harus
mencari.” jawab Langit akhirnya.
***
“Langit, kali ini aku benar-benar menemukan orang
yang tepat! Kali ini aku tidak mungkin salah pilih.” kata Awan.
“Maksud kamu?”
“Senja. Wanita terindah yang pernah aku temui.
Mahakarya Tuhan yang telah lahir ke Bumi. Sungguh ia adalah sebuah keindahan
yang bahkan tak mampu aku lukiskan dengan kata-kata.”
“Kamu… berganti wanita… lagi?” tanya Langit tak
percaya.
“Hujan bukanlah orang yang tepat untukku. Aku jenuh
dengannya.”
“Aku tahu. Hujan memang hanya turun ketika awan
telah mencapai titik jenuh, kan? Namanya saja akan berubah menjadi awan jenuh,
apa kamu lupa pelajaran geografi saat kita SMA? Hujan pun hanya akan datang
sesekali, bukan selalu ada untuk menemani awan. Hujan menjadikan awan gelap,
pekat. Apa indahnya awan yang gelap? Suram. Hujan jelas bukan pendamping yang
tepat untuk awan.” jelas Langit.
“Iya, Langit. Aku sadar. Sekarang pun aku sudah
punya Senja.”
“Mengapa kamu begitu mudah berganti wanita yang
mulanya kamu yakini sebagai pendamping yang tepat, Awan?” tanya Langit dengan
tatapan menerawang.
“Karena aku sedang dalam tahap pencarian. Aku ingin
benar-benar menemukan sosok yang tepat untuk menjadi pendampingku. Aku tidak
ingin mempunyai pendamping yang salah.”
Langit menghela nafas. Ia tidak tahu apa yang ia
rasakan saat ini. Dadanya terasa sesak. Ingin sekali ia menangis
sekencang-kencangnya. Berlari menerobos padang ilalang tanpa peduli duri ilalang
akan menyakiti dirinya.
“Langit…” panggil Awan.
Langit menoleh perlahan. Ia tak ingin Awan menangkap
perubahan pada wajahnya.
“Berjanjilah untuk tetap bersamaku.”
“Aku memang tetap bersamamu, Awan. Aku adalah
Langit. Langit selalu bersama awan, lihatlah di atas sana.”
Tangan mereka saling menggenggam. Jari mereka saling
bertautan. Tubuh mereka berbaring berdampingan. Pandangan mereka ada pada titik
yang sama. Kepada langit biru di angkasa dan awan yang berarak bersamanya.
“Apa kamu sudah menemukan pendamping yang tepat?”
tanya Awan.
“Aku telah memutuskan untuk tidak mencarinya. Aku
menunggunya pulang, karena mungkin kini ia sedang berada dalam perjalanan
panjang menujuku.”
***
“Langit, Senja memang indah. Ia dikagumi oleh semua
orang. Ia selalu menjadi objek yang paling dinanti di penghujung hari. Langit,
kamu juga mengagumi warna gamboges yang tercipta saat senja tiba, bukan?” kata
Awan.
“Ya. Aku mengaguminya. Ia menjadikan aku, Langit,
menjadi lebih indah. Senja juga selalu menciptakan sisi romantis dan melankolis
dalam diri seseorang.” jawab Langit.
“Tapi ia juga bukan pendamping yang tepat untuk
awan.”
“Lagi?” Langit nyaris tak percaya bahwa ia akan
mendengar kata-kata itu dari mulut Awan lagi.
“Iya. Senja memang indah, tapi bukan untuk awan.”
“Memang. Senja sangat indah, tapi hanya sesaat. Lagi
pula saat senja datang awan pun bersiap untuk pudar.” kata Langit.
“Apa aku juga akan memudar, Langit?” tanya Awan.
“Tidak. Jika kamu menemukan alasan dan jawaban yang
tepat untuk pendampingmu.” jawab Langit.
Langit memohon dalam hati, semoga Senja adalah yang
terakhir. Melihat Awan hanya terdiam dan menatap langit di angkasa, Langit
menjadi lega. Ia rasa penantiannya tidak akan lama lagi dan ia pun tidak akan
didahului lagi oleh orang lain.
“Langit, apakah pendampingmu sudah tiba?” Awan
bertanya lagi.
“Aku rasa ia hanya belum menyadari aku.” jawab
Langit sambil tersenyum indah.
“Mengapa ia belum menyadarimu?”
“Mungkin karena ia terlalu sibuk menghadapi godaan
yang silih berganti menghampiri dalam perjalanannya menujuku. Godaan itu
seperti kerikil-kerikil yang menghambat jalannya. Tapi aku selalu ada di ujung
jalan, menanti dia pulang.”
Awan dan Langit sama-sama terdiam untuk waktu yang
lama. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing yang terasa begitu rumit.
Mengapa semua sangat sulit untuk diterjemahkan? Hari ini adalah hari kesekian
mereka berbaring berdampingan di hamparan rumput hijau di dekat padang ilalang
yang menjadi tempat kesukaan mereka. Namun mereka belum juga menemui jawaban
atas semua pertanyaan yang hadir diantara mereka.
“Langit…”
“Ya?”
“Aku menemukan pendamping baru. Bintang. Ia bersinar
terang menemani awan saat malam datang. Meski awan tidak kelihatan, bintang ada
bersamanya. Bintang adalah wanita tersabar yang pernah aku temui.”
***
Langit tak lagi berbaring pada hamparan rumput
hijau. Ia berdiri di tengah padang ilalang seorang diri, membiarkan angin
menampar tubuhnya, matahari menyengat kulitnya, mungkin hingga senja datang
atau bintang menjelang, tak peduli hujan pun akan turun membasahi
sewaktu-waktu.
“Langit.” panggil Awan meski ia berada jauh di
belakang.
“Aku mengira Mentari adalah wanita terhebat dan
candu bagiku, nyatanya kamu adalah wanita terhebat yang pernah aku temui karena
masih menantiku dan mencintaiku hingga detik ini. Dan kamu selalu membuatku
ingin terus bersamamu, berada di dekatmu, kamu adalah candu bagiku.”
“Aku pun mengira bahwa Angin adalah wanita yang
paling setia, selalu menemaniku, dan paling membuatku penasaran. Nyatanya
kamulah wanita yang setia bersamaku dan selalu ada di sisiku. Kamu juga selalu
membuatku penasaran dengan dirimu yang sulit ditebak.”
“Hujan. Aku pikir ia adalah wanita pelengkapku,
hidup dan matiku. Nyatanya kamulah yang melengkapi semua kelebihan dan
kekuranganku. Aku tidak tahu apakah hidupku masih bisa indah tanpamu.”
“Begitu juga Senja yang aku pikir adalah wanita
terindah yang pernah aku temui. Aku salah besar. Jelas-jelas mahakarya Tuhan
selama ini ada di sisiku, berdampingan memandangi dirinya dan diriku. Segala
keindahan ada padamu tanpa sesuatu hal yang berlebihan untuk menampilkannya. Kamu
indah, sesederhana itu.”
“Dan Bintang, ia bukanlah wanita tersabar yang
pernah aku temui. Kamu adalah wanita tersabar yang selalu menanti aku pulang
meski aku memilih jalan yang penuh liku hingga mempersulitku untuk pulang.”
Hening. Hanya ada Awan dan Langit yang sedang
mengatur perasaan serta awan dan langit yang menjadi perantara di angkasa.
“Langit. Aku letih, aku ingin pulang.” kata Awan.
“Selama ini langit menunggu awan untuk menjadi
pendampingnya. Tak pernahkah kamu sadar, kamu selalu melihat langit dimana pun
kamu berada? Tak pernahkah kamu sadar bahwa kamu merasa tenang ketika
melihatnya? Mengapa kamu masih meragukan semuanya? Padahal jelas-jelas langit
selalu ada bersamamu.”
“Langit selalu ada di angkasa, tak peduli siang atau
malam, dalam keadaan seperti apa pun, langit selalu ada. Mentari, angin, hujan,
senja, dan bintang hanyalah sebagian peristiwa yang terjadi di langit. Awan
selalu ada bersama langit, meskipun kadang ia menghilang, namun langit tetap di
tempat yang sama untuk menunggunya. Kemana pun awan pergi, ia selalu tahu
dimana ia bisa menemukan langit untuk kembali. Langit mencintai awan, karena
mereka adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Langit pun mencintai Awan.”
“Pulanglah. Karena akulah rumahmu.” sambut Langit.
090115
Kamar. Saat lagi
marahan gara2 rokok wkwk.
P.S:
Cerita ini adalah yang pertama yang berhasil aku buat semenjak berstatus menjadi mahasiswa sastra Indonesia. Iya, saya bukan penulis yang produktif, iya.
Pencerahan tentang cerita ini aku dapat saat sedang showeran hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar